"Fokus utama pemerintah saat ini adalah melakukan deregulasi atas peraturan yang menghambat kemudahan usaha, namun masih ada empat hal yang menjadi tantangan dalam program deregulasi ini," ujar dia, di Jakarta, Rabu.
Mantan aktivis di ICW itu mengatakan hal itu dalam seminar nasional reformasi hukum bertajuk "Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien".
Tantangan pertama adalah banyaknya regulasi atau peraturan yang tumpang tindih mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah.
Untuk tantangan pertama ini, dia katakan, pentingnya harmonisasi antar-lembaga ketika memulai pembuatan peraturan perundang-undangan.
"Bisa menunjuk satu kementerian yang paling sentral terkait dengan hal yang diundangkan, sehingga kementerian lain bisa menitipkan aturan tersebut di kementerian sentral, namun ini memang tidak mudah mengingat ada ego sektoral," kata dia.
Hambatan atau tantangan kedua dia katakan adalah kewenangan yang dimiliki para menteri dalam menerbitkan izin di sektor masing-masing. Hal ini menimbulkan produksi regulasi antar-kementerian yang cukup banyak dan tumpang tindih.
Selanjutnya ditemukan banyak peraturan daerah yang tidak selaras dengan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.
"Masing-masing daerah punya rencana sendiri-sendiri, padahal secara ekonomi satu kabupaten dikatakan sulit bahkan tidak memungkinkan bisa otonom karena APBD yang tidak memadai," ujar dia.
Tantangan terakhir dikatakan Teten adalah pembatalan peraturan daerah yang pada saat ini sudah menjadi kewenangan kepala daerah.
"Berdasarkan putusan MK Nomor 137/PUU-XII/2015, menteri dalam negeri sudah tidak bisa membatalkan peraturan daerah," kata Teten.
Teten kemudian mengatakan salah satu solusi untuk membantu mengatasi regulasi yang berlebihan adalah dengan membentuk satu badan otoritas tunggal yang bertanggung jawab terkait fungsi pemerintahan di bidang peraturan perundang-undangan.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018