Jakarta (ANTARA News) - Para peneliti dan ahli terumbu karang pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut pemutihan karang akibat perubahan iklim dan bom ikan menjadi ancaman terbesar keberadaan terumbu karang di Indonesia.Di Kendari, sebulan lalu saya menyelam, terdengar dua sampai tiga kali bom ikan dalam waktu satu jam
"Frekuensi pemutihan karang semakin rapat, dikhawatirkan karang mati semua, karena belum tumbuh lagi tapi sudah kena pemutihan karang lagi. Ini jadi kekhawatiran kita, apakah karang akan menyerah atau bisa tetap tumbuh," kata ahli terumbu karang Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Prof DR Suharsono di sela diskusi publik Potensi Stok Terumbu Karang Indonesia yang dilaksanakan LIPI di Jakarta, Rabu.
Dalam presentasinya Suharsono mengatakan peristiwa pemutihan karang di Indonesia tercatat terjadi pada Mei hingga Juli 1983, kematian karang mencapai 90 persen dari tutupan karang di Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa, Bali dan Lombok.
Peristiwa pemutihan karang kembali terjadi pada November 1997 hingga Februari 1998, dengan tingkat kematian karang mencapai 80 persen dari tutupan karang di area perairan Sumatera, Laut Cina Selatan, Jawa, Bali dan Lombok. Dan pada April hingga Juni 2010 peritiwa pemutihan karang memicu 30 persen kematian karang di perairan utara dan barat Sumatera, Bali, Lombok dan Wakatobi.
Peristiwa pemutihan karang terakhir terjadi pada Maret hingga Juni 2016, dengan tingkat kematian tutupan terumbu karang mencapai 30 hingga 90 persen di area perairan NTT dan NTB, selatan Jawa, barat Sumatera, utara Bali, Lombok, Karimun Jawa dan Selayar.
Frekuensi peristiwa pemutihan terumbu karang merapat dari 14 tahun menjadi 12 tahun lalu menjadi enam tahun sekali, ujar dia.
Penyebab kerusakan terumbu karang terbesar lainnya, menurut Suharsono, karena penggunaan bom ikan. Dari dua kilogram (kg) bom ikan mampu menghancurkan terumbu karang seluas 19,6 meter persegi (m2), sedangkan bom ikan seberat satu kg berakibat rusaknya karang dengan radius 2,5 meter (m) atau 4,9 m2.
Suharsono mengatakan satu kali operasi pengeboman ukuran besar akan mengakibatkan kerusakan bila diasumsikan melepaskan 100 bom untuk sekali melaut maka berdampak pada area seluas 1960 m2.
Kerusakan akibat bom ikan bersifat masif dan butuh waktu lama sekali untuk pulih kembali namun tidak akan pernah kembali seperti struktur semula. Tulang ikan akan hancur, telur ikan dan larva akan mati.
"Di Kendari, sebulan lalu saya menyelam, terdengar dua sampai tiga kali bom ikan dalam waktu satu jam," ujar dia.
Sedangkan peneliti terumbu karang P2O LIPI Giyanto mengatakan pemutihan terumbu karang pada 2016 terjadi karena peningkatan temperatur air laut, hal ini juga terpantau dari hasil citra satelit di Sumatera dan Sulawesi yang menyebabkan karang mati.
Kondisi ini, menurut dia, tidak hanya terjadi di Indonesia. Para peneliti di Australia melaporkan sebagian besar karang di "Great Barrier Reef" mati pada periode 2015-2016, sedangkan di Okinawa, Jepang, pemutihan terumbu karang juga terjadi pada 2016.
Giyanto mengatakan rehabilitasi bisa memulihkan kondisi terumbu karang hanya apabila kondisi perairannya baik, contohnya di perairan Laut Banda, Maluku.
Baca juga: Peneliti: perkuat partisipasi masyarakat lestarikan terumbu karang Kepulauan Seribu
Baca juga: El Nino perluas pemutihan karang di perairan Indonesia
Baca juga: Terjadi pemutihan massal terumbu karang di Perairan Bulukumba
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018