Dalam presentasinya di Seminar "Radikalisme, Terorisme, dan Media, Bahaya Dibalik Kata", Dadang mengatakan, dalam kehidupan kampus, mahasiswa itu beragam pemikirannya, dari yang radikal kiri hingga radikal kanan ada. Juga dari mereka yang memiliki pemikiran moderat hingga ekstrem ada.
"Mereka beragam pemikirannya, namun bagi mahasiswa yang punya sifat individualisme bisa menjadi mudah dipengaruhi," katanya.
Menurut dia, jika mahasiswa aktif dalam banyak organisasi, kegiatan atau acara kampus, mereka terhindar dari individualisme dan menambah banyak teman dan terbuka pemikirannya.
Ia menekankan, komunikasi sosial mahasiswa itu harus luas, sehingga dalam mengambil keputusan akan berpikir rasional dengan cakrawala luas.
Dadang berharap, bagi mahasiswa yang sudah terpengaruhi radikalisme harus dihentikan tidak dengan ancaman, namun secara persuasi dengan dialog dan membuka pemahaman secara rasional.
"Masalahanya ada mereka yang radikal dan merasa paling benar, ini harus didekati dengan komunikasi sosial yang baik. Tidak usah dimusuhi atau dijauhi, karena malah semakin radikal dan jauh. Pendekatan subtansial dan rasional penting dalam komunikasi dengan mereka," ujarnya.
Seminar yang diadakan di auditorium Fakultas Komunikasi Unpad di Jatinangor itu menghadirkan pula pejabat dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, praktisi media dari Tempo dan pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Mengenal agama
Tenaga ahli BPIP Syaiful Arif dalam presentasinya mengatakan, mereka yang mudah didoktrin ajaran radikalisme adalah mereka yang baru mengenal agama.
"Karena itu mereka yang sudah mengenal agama mendalam atau yang sudah belajar agama dari pesantren akan sulit dipengaruhi ajaran radikalisme, karena mereka tahu cara beragama dari sumber sejatinya. Para santri sudah diajari cara beragama dengan belajar dari dasar," tuturnya.
Syaiful yang juga akademisi itu mengatakan, cara mendoktrinasi dengan simbol-simbol agama akan menarik bagi yang baru mengenal agama. Tetapi yang sudah pernah belajar agama, tidak mudah dipengaruhi, malahan dikritisi.
Seperti ormas terlarang Hizbut Tahriri Indonesia (HTI) ada diklaim sebagai ormas dakwah, padahal kata Hizbut itu artinya partai. Juga kalau dakwah sesuai Al Quran adalah membawa kebaikan yang substansial, bukan dakwah mengubah sistem politik.
Syaiful menekankan, literasi kebangsaan perlu digalakkan di kalangan generasi muda, sehingga mereka yang berniat mengganti NKRI dan Pancasila bisa dicegah. Literasi tidak hanya didunia nyata, tetapi juga dunia maya.
"Pancasila itu isinya sesuai dengan ajaran Islam, dan selaras dengan Piagam Madinah zaman Nabi Muhammad. Dan dasar negara itu tepat untuk negara kita yang majemuk atau bhineka ini," ucapnya.
Pemateri lainnya, Staf Ahli Menteri Kominfo Gun Gun Siswandi mengungkapkan, pengguna internet di Indonesia sekarang tercatat 143 juta orang, dengan 87 persennya adalah pengguna media sosial.
"Penyebaran radikalisme bukan dari media `online mainstream`, tapi kebanyakan media sosial. Nah ini yang perlu diwaspadai," ujarnya.
Kementerian Kominfo juag sudah melakukan pemblokiran media daring yang tidak jelas, yang menyuarakan radikalisme, ujaran kebencian, berita bohong (hoaks) dan adu domba.
"Tapi nyatanya, diblokir satu, yang lainnya tumbuh lagi. karena itu upaya pemberdayaan sumberdaya manusia dengan melek media atau literasi media menjadi penting. Karena diharapkan SDM kita mampu memilah dan memilih informasi, atau menyaring informasi," katanya.
Dijelaskannya, Kementerian Kominfo juga menekankan strategi peningkatan literasi SDM Indonesia dalam mengarungi informasi, yaitu melakukan edukasi literasi media, sehingga mampu melakukan identifikasi, verifikasi, memilah dan memilih atas informasi yang datang.
Selain itu, Kominfo juga memfasilitasi komunitas-komunitas dalam menyampaikan literasi lanjutan, dan terakhir melakukan penegakan hukum, khususnya pengakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Seminar yang dihadiri seratusan mahasiswa itu berlangsung meriah dan keaktifan mahasiswa untuk bertanya kepada pemateri. Bahkan di akhir seminar diisi pembacaan puisi karya Gus Mus (Mustofa Bisri) oleh pemateri Syaiful Arif dengan diiringi musik.
Pewarta: Zaenal Abidin
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018