Anindya pada Kamis di Jakarta mengatakan hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual sehingga banyak korban merasa hal tersebut tidak termasuk kekerasan seksual.
"Padahal siulan saja sudah termasuk pelecehan seksual, tetapi banyak yang tidak merasa bahwa itu pelecehan," kata Anindya.
Beberapa lembaga seperti Hollaback Jakarta, Lentera Sintas Indonesia, perEMPUan, dan Jakarta Feminist telah membuat survei tentang pelecehan seksual di ruang publik.
Survei tersebut dipublikasikan situs penyebran petisi advokasi change.org. Hingga 27 November 2018, sudah lebih 50 ribu orang ikut berpartisipasi mengisi survei tersebut.
Sebanyak 45 persen orang yg mengikuti survei mengaku pernah menjadi korban pelecehan.
"Sisanya memang mengaku tidak pernah, namun saat mereka menjawab pertanyaan lebih dalam, ternyata mereka pernah disiul saat berjalan. Sementara dapat disimpulkan bahwa korban tidak sadar mereka telah menjadi korban," kata dia.
Untuk itu pada kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengambil tema #HearMeToo, terus mengajak masyarakat untuk berbicara tentang kekerasan yang mereka alami.
Cerita-cerita tersebut diharap dapat membuka pikiran masyarakat bahwa belum ada ruang aman untuk perempuan.
Mereka juga berharap, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan, untuk menjamin rasa aman para perempuan.
Baca juga: UN WOMAN: #HearMeToo mengajak masyarakat mendengarkan perempuan korban
Baca juga: Belum ada payung hukum pelecehan di ruang publik
Baca juga: Lembaga kemanusiaan galang dana untuk perempuan korban kekerasan
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018