Lambungan asa pebisnis rendang lokal

3 Desember 2018 16:21 WIB
Lambungan asa pebisnis rendang lokal
Peserta Nusantara Marandang dari Bali, di Area Parkir Timur Senayan, Jakarta Pusat pada Minggu (2/12/2018) sore. (Antara/Tessa Qurrata Aini)
Jakarta (Antara) - Makanan khas Sumatera Barat dari olahan daging, rendang menjadi harapan para pelaku usaha di Sumbar untuk menggaungkan sekaligus meningkatkan taraf ekonomi mereka.

Festival Nusantara Marandang menjadi peluang bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) binaan Pemkot dan Pemprov Sumbar.
Sekretaris Koperasi Wanita Ikaboga, Harti Ningsih mengatakan UMKM-nya terpilih berdasarkan beberapa kriteria yang ditetapkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumbar, yakni yang memiliki nilai jual dan spesifik.

“Terdapat 19 kota dan kabupaten yang ikut. Ikaboga awalnya diberangkatkan berdua, tapi karena ada demo masak rendang maka dipilih dua orang lagi,” kata Harti.

Koperasi yang fokus mengembangkan produksi rendang sejak 2015 itu juga menjual beraneka ragam makanan selain rendang, seperti dendeng, kue kotak, keripik sanjai, dan lain sebagainya.

Bahkan, penjualan bukan hanya dijual di Sumbar saja, melainkan hingga provinsi lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa.

Harti merasa tersanjung dapat memperagakan cara “marandang” di hadapan para peserta seluruh Indonesia, menggunakan wajan berukuran besar dengan daging dan bumbu yang tersedia, semua peserta terlihat fokus.

Bagi wanita berbaju kurung merah muda tersebut, randang memiliki filosofi yang tak bisa dipisahkan dari budaya Minang.
“Perlu kita tonjolkan untuk kita pembuat kuliner Minang, kenapa? Karena kita tidak bisa menarik paten dari Malaysia, karena itu kita tonjolkan filosofonya dari bahan pokok, berupa tambahan kelapa, cabai, dan bumbu.

Yang membedakan rendang kita dengan rendang negara lain, yaitu pembedaannya di karakter, kalau rendang kita ada unsur kesabaran,” jelas Harti.

Maksud dari kesabaran itu ialah proses memasak rendang yang lama, mengingat minimal satu kilogram daging butuh dimasak hingga tiga jam lamanya.

Beda halnya dengan cara memasak di negara lain karena meggunakan banyak minyak. Proses membumbui dilakukan secara terpisah, pada akhirnya bumbu yang dibumbui dengan minyak dan daging diolah terpisah lalu baru disatukan.

Cara memasak yang berbeda itu menunjukkan betapa sabarnya masyarakat Minang, khususnya wanita yang mau menghabiskan waktunya di dapur untuk mengolah daging hingga menjadi masakan terenak di dunia versi CNN tersebut.

Kedua, unsur ramai karena banyaknya bumbu dan variasi yang dipakai saat mengolah daging menjadi rendang.
Terakhir, tentunya hemat, efektif, dan efisien. Seperti yang telah diketahui, rendang yang telah jadi meninggalkan banyak dedak coklat kehitaman yang enak. Dari dedak itulah pengolahan dapat dilakukan kembali.

Bukan hanya daging, orang zaman dulu memanfaatkan dedak sisa dari daging rendang yang sudah habis untuk dicampurkan dengan kentang, kacang agar bisa dinikmati lagi untuk kesekian kalinya.

Perbedaan antara memasak rendang dulu dan sekarang terletak pada pemakaian alat masak, yaitu kayu bakar dan kompor gas.
Anggota Wanita Ikaboga lainnya, Aswati Sjartoni menyatakan dari segi aroma tentu berbeda antara rendang yang dimasak menggunakan kayu dan kompor. Kayu mampu menghasilkan aroma yang khas dan jauh lebih enak, namun kurang efisien.

“Marandang” lekat kaitannya dengan gadis Minang, tapi seiring berjalannya waktu banyak anak gadis zaman sekarang enggan memasak. Melalui kegiatan marandang diharapkan kegemaran untuk menghabiskan waktu di dapur dapat dirasakan kembali oleh anak generasi millenial.

“Melalui Ikaboga kami sudah memiliki catatan membuat rendang yang praktis. Diharapkan seluruh keluarga itu mau bikin rendang di rumahnya. Jadi dalam waktu 2,5 jam bisa memasak rendang, supaya warisan budaya itu jangan hilang,” kata wanita yang kerap disapa Upik itu.

Dia juga menggelar kelas marandang di kelurahan-kelurahan di Sumbar, banyak anak-anak muda antusias mengikuti kelas itu.
Jika mendengar kata Minang atau Padang, pasti orang akan terbayang banyak hal, salah satunya mungkin rendang. Sayangnya, hal itu belum bisa disebut sebagai ikon karena masih banyak variasi rendang yang dibuat oleh daerah lain.

Pemerintah Sumbar terus mencoba untuk membuat ikon rendang di Sumbar, contohnya menarik wisatawan agar tidak membeli keripik saja sebagai oleh-oleh, namun juga rendang asli khas ranah Minang.

Begitu juga dengan rombongan jamaah haji yang melewati rute Padang selalu diimbau oleh Pemkot Padang agar membeli produk UMKM berupa rendang dalam goodie bag sebagai bentuk upaya menjadikkannya ikon kota.

Gempa yang melanda Palu dan sekitarnya pada September 2018 lalu juga menjadi momen bagi UMKM untuk membantu korban gempa dengan mengirimkan rendang sebagai bentuk bantuan makanan.

Usaha yang kian hari makin menuai kesuksesan memberikan dampak ekonomi yang baik bagi kehidupan para pelaku usaha rendang lokal seperti Harti dan Aswati.

Omzet yang cukup besar dan naik tiap tahunnya diakui Harti membuatnya terus bersemangat untuk mengembangkan usaha kulinernya. Ratusan juta rupiah Ia kantongi berkat pengolahan dan penjualan rendang yang bagus.

“Khusus Ikaboga, rumah randang kami tengah persiapkan merupakan persemian sentra produksi randang di Padang yang difasilitasi Pemkot dari dana hibah untuk pembangunan fisiknya. 

Insha Allah ada empat negara yang menjadi tujuan ekspor randang kami pada awal tahun depan, yaitu Arab Saudi, Tiongkok, Singapura, dan Malaysia,” ujar Harti seraya memamerkan senyumnya.

Diakui Harti, kelompok lainnya yang tergabung dalam Ikaboga telah memulai bisnis rendang sejak 15 tahun lalu dengan merk rendang “Asese” berupa yang mampu mencapai omzet hingga Rp 4 miliar pada 2017 lalu. “Malah saat ini, menjelang Desember habis mereka sudah berhasil mencapai hampir Rp 6,5 miliar,” ucapnya.

Ikaboga beserta UMKM di Sumbar lainnya berharap penjualan rendang dan makanan khas Minang lainnya dapat merajai bisnis online, sebab diakui Harti penjualan lewat media sosial maupun aplikasi internet masih merangkak pelan karena masih mengandalkan penjualan “B to B”.

Festival Nusantara Marandang digelar perdana oleh Pemprov Sumbar pada tanggal 2 Desember sekaligus pemecahan rekor muri memasak rendang oleh 34 provinsi di Indonesia.

Berbicara mengenai perkembangan industri kuliner, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menilai industri menengah atau besar tidak cocok untuk masyarakat Sumbar yang cenderung egaliter, lebih mendahulukan otak daripada otot.

Banyak contoh yang memperlihatkan sulitnya industri menengah dan besar berkembang di provinsi yang terkenal dengan tempat wisata jam gadang tersebut.

Irwan mengatakan rendang  dinilai lebih cocok diproduksi dalam skala UMKM di daerah itu. Sementara jika ingin menaikkan level pada industri menengah atau besar untuk kepentingan ekspor, Sumbar dirasa sulit dibandingkan perkembangan industri yang melesat baik di Jawa atau provinsi lain.*


Baca juga: Marandang satukan perbedaan

Baca juga: Kemenparbud nyatakan rendang masih populer di dunia

Baca juga: Sumbar imbau UMKM perhatikan strategi pemasaran rendang



 




 

Oleh Tessa Qurrata Aini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018