Oleh Agus Sudibyo *)Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memanfaatkan integrasi tersebut tanpa terus-menerus menjadi obyek eksploitasi
Jakarta (ANTARA) - Internet telah menjadi kenyataan global. Lebih dari separuh dari penghuni bumi telah menggunakannya sebagai sarana komunikasi dan interaksi sosial. Internet membawa perubahan pada semua bidang kehidupan.
Persoalannya, globalisasi internet secara unilateral sesungguhnya praktis hanya dikontrol satu negara: Amerika Serikat. Kekuatan yang secara oligopolik menguasai komputerisasi dan digitalisasi global adalah perusahaan Amerika Serikat yang kemudian disebut sebagai The Five: Apple, Google, Microsoft, Amazon dan Facebook.
Lanskap informasi global seperti tercermin dalam ketentuan, perjanjian, protokol dan skema yang berlaku dalam tata-kelola internet juga sedemikian rupa menggambarkan keinginan, ambisi, rencana dan kepentingan Amerika Serikat (US-centric extraterritorial internet). Hal inilah yang disebut Milton Mueller (2013) sebagai dunia yang sedang menghadapi "globalisme unilateral" dalam tata kelola internet global.
Di satu sisi, kenyataan ini dapat dipahami karena Amerika Serikatlah yang menemukan internet dan berupaya paling keras untuk mengembangkannya. Sejak dekade 1960, institusi militer dan pebisnis Amerika Serikat terus-menerus mengembangkan teknologi komputer dengan investasi yang besar.
Tak ada negara yang mampu menandingi keseriusan Amerika Serikat dalam hal ini. Maka wajarlah jika Amerika Serikat kemudian mereka yang berada paling depan dalam pemanfaatannya. Namun di sisi lain, digitalisasi ternyata berdampak eksesif terhadap daya hidup masyarakat di berbagai negara.
Digitalisasi melahirkan ketimpangan, di mana kekuatan ekonomi Amerika Serikat mengambil surplus ekonomi yang begitu besar sehingga, meminjam istilah Vincent Mosco (2016), menyebabkan efek "kanibalistik-parasitik" terhadap perekonomian lokal.
Yang terjadi di sini bukan hanya meredupnya bisnis media konvensional akibat munculnya media-media baru berbasis teknologi digital, melainkan juga bahwa digitalisasi telah menjangkau semua bidang dan melahirkan perubahan revolusioner dalam mode organisasi, produksi, distribusi, konsumsi dan komunikasi.
Sebagai gambaran, ketika kecerdasan-buatan telah diterapkan secara luas, maka berbagai jenis pekerjaan telah diserahkan kepada mesin, robot atau komputer sehingga melahirkan gelombang pengangguran baru.
Petugas cleaning service, teknisi percetakan, loper koran, wartawan, pegawai bank akan kehilangan pekerjaan dan negara harus mencarikan solusinya dengan segera. Sementara surplus ekonomi yang dihasilkan dari proses digitalisasi pada aras tersebut sebagian besar diambil para produsen teknologi digital yang mengontrol proses digitalisasi dari negara lain.
Seperti diteliti Robert W. McChesney, karena tata-kelola internet yang demikian ini, surplus ekonomi digital belum banyak berkontribusi terhadap pengembangan perekonomian lokal. (Lihat “Internet dan Globalisasi Universal”, Kompas, 22/6/2017)
Persoalan berikutnya adalah pajak. Pendapatan terbesar google dan facebook adalah dari iklan digital tertarget. Pertanyaannya adalah di manakah pajak atas iklan tersebut harus dibayarkan, di negara asal pengiklan atau di negara dimana aplikasi itu didaftarkan?
Muncul ketidakpastian sekaligus ketidakadilan di sini. Kompas.com, detik.com, bukalapak, tokopedia dan semua jenis media online di Indonesia harus membayar pajak untuk setiap penghasilan iklan yang mereka peroleh. Sementara google, facebook, yahoo, twiter dan lain-lain dengan pendapatan iklan yang jauh lebih besar dapat terbebas dari kewajiban membayar pajak. Tahun 2016, perusahaan raksasa digital itu berhasil meraih 70 persen dari total belanja iklan digital Indonesia.
Persoalan yang lain adalah keamanan data personal. Perusahaan seperti google, facebook, yahoo merekam data pribadi (behavioral data-red) setiap penggunanya dan memanfaatkannya sebagai basis periklanan digital.
Kita tidak tahu secara persis untuk keperluan apa lagi data tersebut dimanfaatkan. Di sini, kita berbicara tentang privasi pengguna internet yang tiba-tiba saja email pribadi, akun media sosial atau aplikasi whatsup-nya dimasuki iklan-iklan digital tanpa pernah memberi izin kepada siapa pun untuk menggunakan saluran-saluran pribadi itu. Kita juga berbicara keamanan data yang dikelola perusahaan layanan mesin pencari atau media sosial dari kemungkinan diretas atau dimanfaatkan pihak-pihak yang memiliki maksud jahat.
Dalam konteks inilah muncul inisiatif untuk mengoreksi dominasi Amerika Serikat dalam tata-kelola internet global. Sebagaimana dicatat Dan Schiller (2014), pemerintah Kenya, India, Mesir, Meksiko, China sejak tahun 2011 mengajukan tuntutan tentang transisi pengelolaan internet global dari Pemerintah Amerika Serikat ke sebuah lembaga multilateral.
Dalam pertemuan Meja Bundar Internet September 2012 di China, hal yang sama ditegaskan Rusia, Brazil dan Afrika Selatan. Mayoritas negara-negara yang hadir sepakat untuk mengatasi globalisme unilateral internet oleh Amerika Serikat dengan memberi wewenang The International Telecommunication Union (ITU) dalam mengatur dalam tata kelola internet global.
ITU adalah organisasi PBB yang beranggotakan 192 negara dan memiliki reputasi meyakinkan dalam menyelesaikan tata-kelola telekomunikasi internasional.
Amerika Serikat dengan tegas menentang gagasan tersebut. Pemerintah dan pelaku bisnis Amerika Serikat secara lantang menyatakan adanya ancaman terhadap kebebasan berinternet. Penolakan juga dilakukan Amerika Serikat ketika mayoritas negara peserta World Conference on International Telecommunications 2012 di Dubai menyuarakan tuntutan yang sama.
Menempatkan ITU sebagai otoritas baru internet global, menurut Amerika Serikat dapat mengganggu iklim kebebasan berinternet dan kebebasan informasi. Menariknya, tak lama kemudian Amerika Serikat justru menciderai kebebasan berinternet dengan mencekal wikiLeaks yang membocorkan berbagai “ketidakpatutan” dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Apa yang dapat disimpulkan di sini? Ekspansi google, microsoft, apple, facebook ke seluruh dunia merupakan cerminan dari kebijakan ekonomi dan strategi geopolitik negeri Paman Sam. Ekspansionisme Amerika Serikat itu dihadapi dengan sikap proteksionis berbagai negara.
Mereka menyadari penetrasi teknologi digital menimbulkan banyak persoalan baru pada aras kedaulatan informasi, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik. Mereka tidak mau hanya menjadi sasaran dari ekspansionisme digital Amerika Serikat. Langkah-langkah “proteksi” pun dilakukan secara unilateral maupun multilateral.
Bagaimana posisi Indonesia? Sejauhmana pemerintah telah melindungi kepentingan media nasional, konvensional maupun digital, dalam lanskap global yang berkecamuk itu? Apa saja langkah-langkah pemerintah dalam menjaga kedaulatan digital nasional? Berorientasi nasional bukan berarti menutup diri.
Terintegrasi dalam lanskap digital global adalah keniscayaan. Keberadaan google, apple, microsoft, facebook sulit untuk ditolak. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memanfaatkan integrasi tersebut tanpa terus-menerus menjadi obyek eksploitasi. Kita tidak menolak keberadaan kekuatan asing, tetapi mesti mengetahui betul kemungkinan eksploitasi dan manipulasi yang mereka lakukan dan mampu mengantisipasinya dengan penguasaan masalah yang menyeluruh, strategi yang jelas dan kemampuan bersikap tegas. “Sleeping with the enemy”. Demikian kira-kira rumusannya.
Keberhasilan memaksa google membayar pajak adalah sebuah langkah penting. Namun, revolusi digital bukan hanya melahirkan masalah pajak, tetapi juga kesenjangan ekonomi, iklim berusaha yang timpang, surveillance capitalism, keamanan dan lain-lain.
Kompleksitas masalah yang tidak mungkin dihadapi sendiri. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih determinatif dalam forum-forum internasional yang berusaha mengoreksi globalisme unilateral seperti dibahas di atas. Indonesia adalah negara besar dalam hal jumlah pengguna internet dan potensi ekonomi digital, tetapi dengan peranan yang terkesan pinggiran di panggung tata kelola internet global.
*) Agus Sudibyo adalah Direktur Indonesia New Media Watch
Pewarta: -
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2018