Bahkan, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto kala itu mampu menyumbangkan 100.000 ton beras untuk korban kelaparan di sejumlah negara di Afrika.
Oleh karena itu, Presiden Soeharto mendapat undangan khusus untuk berpidato dalam konferensi ke-23 Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) di Roma, Italia, pada tanggal 14 November 1985.
Akan tetapi, predikat swasembada pangan itu tidak bisa bertahan lama disandang Indonesia karena menjelang runtuhnya pemerintahan Orde Baru, impor beras kembali dilakukan dan terus melambung hingga kisaran tiga juta ton pada tahun 1995.
Kondisi tersebut diperparah dengan krisis ekonomi yang berlangsung pada tahun 1997-1998 karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi beras nasional pada tahun 1998 hanya mencapai kisaran 33 juta ton, sedangkan konsumsinya mencapai kisaran 36 juta ton sehingga impor beras makin melonjak.
Kini berbagai upaya untuk mengembalikan kejayaan Indonesia yang mewujudkan swasembada pangan terus dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian, salah satunya upaya khusus padi, jagung, dan kedelai (upsus pajale).
Dalam upsus pajale yang mulai digulirkan pada tahun 2015, pemerintah menargetkan adanya peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kedelai setiap tahunnya. Selain itu, peningkatan luas tambah tanam dan pencetakan sawah baru.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian pun mendorong dilakukannya modernisasi, yakni dengan mengoptimalkan alat dan mesin pertanian (alsintan) guna meningkatkan produktivitas padi, jagung, maupun kedelai.
Saat mengunjungi Desa Kembangan, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 8 Mei 2018, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memberikan apresiasi atas upaya mengoptimalisasi pemanfaatan alsintan bantuan pemerintah di daerah itu.
Menurut dia, optimalisasi alsintan dalam mengolah lahan sawah di Desa Kembangan merupakan contoh yang sangat bagus karena berdasarkan laporan yang diterima, penggunaan empat unit alsintan secara berkelompok dapat menyelesaikan pengolahan lahan sawah seluas 15 hektare setiap hari.
"Oleh karena itu, kita bentuk brigade. Apa tujuan brigade? Ini adalah untuk mempermudah kontrol," kata Amran.
Selain itu, kata dia, mengoptimalkan alat dan mesin pertanian, mempermudah kontrolnya, perbaikannya mudah, biayanya murah, dan hasilnya bisa tiga kali lipat.
Ia mengatakan biasanya yang terjadi di Indonesia, kelompok tani yang punya alsintan akan menyimpan traktornya setelah selesai mengolah lahannya.
"Ini enggak boleh, sehingga kami membentuk brigade di seluruh Indonesia. Tidak boleh, bantuan pemerintah bukan dalam bentuk brigade, karena kami hitung-hitungan, itu pengolahan tanah dengan kapasitas traktor yang sudah dibantukan kurang lebih 250.000-300.000 unit, itu mampunya 50 ribu hektare per hari," tegasnya.
Amran mengatakan jika kemampuannya 50 ribu hektare per hari, berarti 1,5 juta hektare per bulan sehingga sudah lebih dari kebutuhan untuk padi, jagung, dan sebagainya.
Bahkan, biaya penggunaan alsintan lebih murah serta efisien dan menghemat anggaran hingga 40 persen dan lebih cepat sehingga yang biasanya menanam satu kali dalam setahun bisa menjadi dua kali, sedangkan yang dua kali dalam setahun bisa menjadi tiga kali.
Selain optimalisasi pemanfaatan alsintan, pemerintah juga mendorong adanya percepatan masa tanam, yakni dengan tidak membiarkan lahan sawah terlalu lama menganggur setelah panen selesai.
Saat menghadiri gerakan menanam padi secara serentak pada musim tanam pertama tahun 2018/2019 di Desa Kuntili, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, pada tanggal 10 November 2018, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Suwandi mengatakan tanaman padi yang telah selesai dipanen, lahan sawahnya harus segera ditanami kembali untuk musim tanam kedua sehingga tidak terlalu lama dibiarkan menganggur.
"Maksimal seminggu, dua minggu. Jangan terlalu lama mengganggur, karena rata-rata bisa mencapai satu bulan sampai keluar singgang, berbuah lagi buah singgang," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, ketika selesai panen dan masih ada air, lahan sawah tersebut langsung diolah agar dapat segera ditanami kembali, sedangkan untuk lahan-lahan kering yang mengandalkan hujan (sawah tadah hujan, red.), disarankan menggunakan sistem tanam benih langsung (tabela).
Program percepatan tanam dalam rangka mendukung program swasembada pangan itu pun mendapat dukungan dari petani di sejumlah daerah.
Ketua Kelompok Tani "Brayan Makmur" Desa Berta, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Saidi, mengatakan percepatan masa tanam sangat membantu petani karena bisa menanam padi lebih awal dari biasanya.
"Apalagi kami dibantu oleh personel Babinsa (Bintara Pembina Desa) dalam melaksanakan percepatan tanam ini," katanya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani "Mekar Jaya" Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Akhmad Jamjuri, mengatakan petani sangat merasakan manfaat percepatan masa tanam karena bisa panen lebih awal ketika harga gabah masih tinggi.
Dengan menyatunya asa petani, upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan pada tahun 2024 bukanlah sekadar harapan, namun sebuah keniscayaan yang dapat terwujud.
Berbagai program yang diluncurkan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas pertanian khususnya beras, mendapat sambutan positif dan dukungan dari petani dalam rangka mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.
Apalagi berdasarkan data Kementan yang bersumber dari BPS, produksi beras di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat karena pada tahun 2015 sebanyak 43,82 juta ton, tahun 2016 mencapai 46,13 juta ton, dan tahun 2017 sebesar 47,30 juta ton.
Sementara pada tahun 2018 ditargetkan sekitar 46,50 juta ton setara beras atau 80 juta ton gabah kering giling, sedangkan konsumsi beras secara nasional diperkirakan hanya 33,47 juta ton sehingga terjadi surplus beras 13,03 juta ton.*
Baca juga: Satgas Pangan mengawasi beras hingga tingkat bawah
Baca juga: Pengamat : anggaran Kementan harus dirasionalisasi
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018