Jakarta, (ANTARA News) - Guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan banyak ketidakkonsistenan terhadap peraturan tentang perlindungan anak di Indonesia, salah satunya tentang perkawinan anak.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Sulis saat diskusi dalam peluncuran program BERANI di Jakarta, Senin.
Undang-Undang Perkawinan membolehkan pemberian dispensasi bagi anak di bawah umur untuk melakukan pernikahan, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan mencegah perkawinan anak mrupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orang tua.
Sulis mengatakan sudah ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan anak tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Namun, hakim konstitusi tampaknya lebih mengacu pada ayat-ayat agama daripada konstitusi," kritiknya.
Hakim-hakim di pengadilan agama juga Sulis nilai masih mudah memberikan dispensasi kepada masyarakat yang ingin menikahkan anaknya meskipun masih di bawah umur, dengan alasan untuk menghindarkan perbuatan zina.
"Agama masih mudah menjadi legitimasi bagi perkawinan anak di Indonesia," katanya.
Program BERANI yang merupakan singkatan dari "Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia" merupakan proyek kerja sama Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) dan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang didanai pemerintah Kanada untuk hak kesehatan reproduksi yang lebih baik di Indonesia.
Baca juga: Perkawinan anak berdampak buruk terhadap SDG's
Baca juga: KPAI sayangkan pengadilan agama izinkan perkawinan anak
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018