Obsesi nelayan Papua mengekspor ikan

16 Desember 2018 14:50 WIB
Obsesi nelayan Papua mengekspor ikan
Seorang anak nelayan sedang menjemur ikan untuk dijadikan ikan asin di Dermaga (PPI) Pusat Pelelangan Ikan, Pantai Hamadi, Jayapura, Papua, Rabu (25/1). Jemur ikan sudah menjadi bagian aktifitas anak-anak nelayan di wilayah ini untuk membantu orang tua mereka. Saat ini harga ikan asin laut di Kota Jayapura berkisar antara 35.000 hingga 40.000 per kilo. (FOTO ANTARA/Anang Budiono)

Kami nelayan asli orang Papua berkeinginan hasil tangkapan ikan dapat diekspor. Meski kemampuan peralatan tangkap masih sangat terbatas, obsesi untuk mengekspor ikan sangat tinggi

Biak, Papua (ANTARA News) - Obsesi nelayan tradisional di Provinsi Papua untuk mengekspor ikan hasil tangkapan mereka sangat memungkinkan terwujud ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan menyediakan gudang untuk pembekuan ikan terintegrasi berkapasitas 200 ton di Kabupaten Biak Numfor.

Moses Wabiser, pimpinan kelompok usaha bersama (KUB) nelayan asli Papua mengakui, penyediaan fasilitas itu membuka peluang para nelayan setempat mengekspor ikan ke luar negeri.

"Kami nelayan asli orang Papua berkeinginan hasil tangkapan ikan dapat diekspor. Meski kemampuan peralatan tangkap masih sangat terbatas, obsesi untuk mengekspor ikan sangat tinggi," katanya.

Sebagian besar wilayah perairan Biak yang berada di pinggiran Samudera Pasifik terdiri atas lautan dan memiliki potensi kelautan cukup besar.

Dengan potensi sumber daya kelautan yang dimiliki Biak, seharusnya kehidupan nelayan Papua sejahtera. Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian, nelayan yang menggantungkan hidup pada potensi kelautan itu masih hidup miskin.

"Saya berharap dengan perhatian pemerintah untuk memberdayakan nelayan asli orang Papua melalui pemberian bantuan sarana tangkap berupa perahu motor, alat pancing, serta `cool box` dapat mengangkat perekonomian pendapatan keluarga nelayan," katanya.

Wilayah perairan Biak mempunyai potensi keindahan bahari dan hasil laut yang kaya, seperti terumbu karang dan tumbuhan laut. Wilayah itu juga tempat hidup beragam jenis ikan.

Namun, kehidupan nelayan setempat senantiasa belum sejahtera, bahkan sering identikk dengan kemiskinan .

Kebanyakan masyarakat pesisir Papua, khususnya nelayan Pulau Biak, masih belum mendapatkan nilai lebih dari potensi sumber daya laut Indonesia.

Nelayan umumnya masih jauh dari sejahtera. Hal itu ditunjukkan dengan pendidikan keluarga nelayan yang rendah dan tidak dapat memenuhi standar kesehatan maupun kebutuhan sehari-hari.

"Pendapatan nelayan lokal asli Papua hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup keseharian, ya ke depan dengan dioperasikan gudang beku ikan terintegriasi bisa meningkatkan kualitas tangkapan ikan nelayan Papua," katanya.



Masalah Pokok

Empat masalah pokok yang menjadi penyebab endahnya pendapatan nelayan lokal Papua, di antaranya kurang mendapat kesempatan serta rendahnya kemampuan diri.

Selain itu, kurangnya jaminan dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik. Hal itu menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan dalam segala bidang.

Tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan saat ini masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk pertanian agraris.

Usaha meningkatkan kesejahteraan kelompok usaha nelayan di Papua menjadi tugas bersama, yang salah satunya diwujudkan melalui keberpihakan kegiatan dan penyediaan program bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan orientasi menyentuh aktivitas kehidupan nelayan Papua.

Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin di antara kelompok masyarakat lain di sektor pertanian.

"Pemerintah pusat juga mendesak pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan pembangunan wilayah pesisir daerah. Pemerintah daerah seharusnya membuka kesempatan kepada masyarakat nelayan untuk dapat meningkatkan perekonomiannya," kata Kasubdit Kewirausahaan Kelembagaan Direktorat Usaha Investasi Ditjen PDSPKP Kementerian Kelautan dan Perikanan Jhonny Haryono.

Bantuan kelompok nelayan dapat berupa regulasi laut yang pronelayan kecil, pelatihan dan subsidi kebutuhan produksi ikan, serta penyediaan fasilitas pendingin ikan yang dapat digunakan komunitas nelayan.

Berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi.

Wilayah itu, di mana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.

Masyarakat pesisir, menurut dia, adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya pesisir dan lautan.

Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan.

"Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat nelayan, pembudi daya ikan, pedagang ikan, dan lan-lain, yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir," ujarnya.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Biak Numfor Effendi Igirisa mengatakan masyarakat pesisir perairan Papua, khususnya di Biak, sebagian besar sebagai nelayan. Kemampuan sebagai nelayan diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumber daya yang digarapnya. Untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimal, nelayan harus berpindah-pindah.

Selain itu, risiko usaha yang tinggi menyebabkan nelayan hidup dalam suasana alam yang keras di mana selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.

"Usaha nelayan adalah warga yang mata pencaharian keseharian hanya melakukan penangkapan ikan di perairan Pulau Papua," kata dia.

Nelayan, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Dalam undang-undang itu, nelayan dan nelayan kecil mempunyai definisi berbeda, yaitu nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Klasifikasi nelayan dibagi menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi.

Keempat tingkatan nelayan tersebut di antaranya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

"Post-peasant fisher" dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti motor tempel atau kapal motor.

Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.

Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar.

"Sementara itu, untuk tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja," katanya.

Tingkatan "commercial fisher", lanjut Effendi, nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan.

"Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer," ujarnya

Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.

Kelompok "industrial fisher", lanjut dia, di mana ciri nelayan jenis ini diorganisasi dengan cara-cara yang mirip perusahaan agroindustri di negara-negara maju.

Secara relatif lebih padat modal, kata dia, memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan hasil tangkapan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Sisi positif perkembangan dunia perikanan di wilayah perairan Indonesia?diimbangi juga dengan konsumsi ikan per kapita yang meningkat.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2014 menyebutkan rata-rata tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia 38,14 kg per kapita per tahun, sedangkan pada 2017 mengalami?peningkatan sampai lebih dari 20 persen di angka 46,49 kilogram per kapita per tahun.

Konsumsi ikan yang lebih tinggi ini didominasi oleh masyarakat luar Jawa dengan wilayah-wilayah, seperti Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, dan wilayah timur lainnya.

Masyarakat Pulau Jawa tergolong kelompok dengan konsumsi ikan yang sedang dengan angka berkisar 20-31,4 kilogram per kapita per tahun.

Kemajuan ekosistem perrikanan Indonesia ini tidak lain merupakan kolaborasi antara peraturan yang diterapkan dengan tegas dan teknologi berbasis sains yang diaplikasikan secara benar.

Dampak positif lain, tentu tidak hanya sebatas konservasi laut dan konsumsi ikan, namun lebih kepada stok ikan yang meningkat secara drastis.

Harapan nelayan asli Papua ketika gudang pembekuan ikan terintegrasi beroperasi di wilayah Sentra Kelautan Perikanan Terpadu Kabupaten Biak Numfor pada 2019 mampu mengangkat kesejahteraan perekonomian keluarga nelayan.

Baca juga: Sekitar 8.000 nelayan Papua sudah punya kartu asuransi

Baca juga: Tantangan Merauke menjadi kawasan perikanan terintegrasi

Pewarta: Muhsidin
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018