• Beranda
  • Berita
  • BPJS Kesehatan sosialisasikan peraturan baru terkait JKN-KIS

BPJS Kesehatan sosialisasikan peraturan baru terkait JKN-KIS

19 Desember 2018 18:28 WIB
BPJS Kesehatan sosialisasikan peraturan baru terkait JKN-KIS
Arsip: Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7/2018). Pada 2019 BPJS menargetkan program keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN bisa mencapai 95 persen atau 257,5 juta jiwa penduduk Indonesia. Berdasarkan data hingga 1 April 2018 sebanyak 165 juta jiwa atau 75 persen yang sudah menjadi peserta JKN. (ANTARA FOTO/Jojon)
Jakarta (ANTARA News) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyosialisasikan peraturan baru yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 yang mengatur beberapa ketentuan yang mulai diterapkan pada 2019.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu, Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menerangkan Perpres tersebut menjabarkan beberapa penyesuaian aturan di antaranya pendaftaran bayi baru lahir, status kepesertaan perangkat desa, aturan suami-istri sama-sama bekerja, tunggakan iuran, denda layanan, serta status kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional bagi karyawan yang di-PHK.

Kepesertaan Bayi Baru Lahir

Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018, bayi baru lahir dari peserta JKN-KIS wajib didaftarkan ke BPJS Kesehatan paling lama 28 hari sejak dilahirkan. Aturan ini mulai berlaku tiga bulan sejak Perpres tersebut diundangkan, yakni pada 18 September 2018.

Jika sudah didaftarkan dan iurannya sudah dibayarkan, maka bayi tersebut berhak memperoleh jaminan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. 

Khusus untuk bayi yang dilahirkan dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), maka secara otomatis status kepesertaannya mengikuti orang tuanya sebagai peserta PBI.

“Untuk bayi yang dilahirkan bukan dari peserta JKN-KIS, maka diberlakukan ketentuan pendaftaran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) pada umumnya, yaitu proses verifikasi pendaftarannya memerlukan 14 hari kalender, dan setelah melewati rentang waktu itu, iurannya baru bisa dibayarkan. Oleh karenanya, kami mengimbau para orang tua untuk segera mendaftarkan diri dan keluarganya menjadi peserta JKN-KIS, agar proses pendaftaran dan penjaminan sang bayi lebih praktis,” kata Iqbal.

Kepesertaan Perangkat Desa

Sementara status kepesertaan JKN-KIS bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan masuk dalam kelompok peserta JKN-KIS segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) yang ditanggung oleh pemerintah.

“Perhitungan iurannya sama dengan perhitungan iuran bagi PPU tanggungan pemerintah lainnya, yaitu 2 persen dipotong dari penghasilan peserta yang bersangkutan dan 3 persen dibayarkan oleh pemerintah,” kata Iqbal.

Peserta Menetap di Luar Negeri

Dalam Perpres tersebut juga dijelaskan bahwa seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah menjadi peserta JKN-KIS dan tinggal di luar negeri selama enam bulan berturut-turut dapat menghentikan kepesertannya sementara dengan tidak perlu membayar iuran serta tidak mendapat manfaat jaminan BPJS Kesehatan.

“Jika sudah kembali ke Indonesia, peserta tersebut wajib melapor ke BPJS Kesehatan dan membayar iuran paling lambat satu bulan sejak kembali ke Indonesia. Jika sudah lapor, ia pun berhak memperoleh kembali jaminan kesehatan. Aturan ini dikecualikan bagi peserta dari segmen PPU yang masih mendapatkan gaji di Indonesia,” ujar Iqbal.

Pasangan Suami-Istri Bekerja

Jika ada pasangan suami istri yang masing-masing merupakan pekerja, maka keduanya wajib didaftarkan sebagai peserta JKN-KIS segmen PPU oleh masing-masing pemberi kerja, baik pemerintah ataupun swasta. 

Keduanya juga harus membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Suami dan istri tersebut berhak memilih kelas perawatan tertinggi.

Jika pasangan suami istri tersebut sudah mempunyai anak, maka untuk hak kelas rawat anaknya, dapat ditetapkan sejak awal pendaftaran dengan memilih kelas rawat yang paling tinggi.

Tunggakan dan Denda

Status kepesertaan JKN-KIS seseorang dinonaktifkan jika ia tidak melakukan pembayaran iuran bulan berjalan sampai dengan akhir bulan, apalagi bila ia menunggak lebih dari satu bulan. 

Status kepesertaan JKN-KIS peserta tersebut akan diaktifkan kembali jika ia sudah membayar iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk 24 bulan. 

“Kalau dulu hanya dihitung maksimal 12 bulan. Sekarang diketatkan lagi aturannya menjadi 24 bulan. Ilustrasinya, peserta yang pada saat Perpres ini berlaku telah memiliki tunggakan iuran sebanyak 12 bulan, maka pada bulan Januari 2019 secara gradual tunggakannya akan bertambah menjadi 13 bulan dan seterusnya pada bulan berikutnya, sampai maksimal jumlah tunggakannya mencapai 24 bulan,” jelas Iqbal.

Sementara denda layanan yang diberikan jika peserta terlambat melakukan pembayaran iuran ialah 2,5 persen dari biaya paket pelayanan kesehatan saat diagnosa awal atau INA-CBG's. 

Besaran 2,5 persen tersebut dikenakan dari paket layanan kesehatan saat peserta tersebut menjalani rawat inap di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit dalam waktu sampai dengan 45 hari sejak status kepesertaannya aktif kembali. Adapun besaran denda pelayanan paling tinggi adalah Rp 30 juta.

“Ketentuan denda layanan dikecualikan untuk peserta PBI, peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah, dan peserta yang tidak mampu. Ketentuan ini sebenarnya bukan untuk memberatkan peserta, tapi lebih untuk mengedukasi peserta agar lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya membayar iuran bulanan. Jangan lupa, di balik hak yang kita peroleh berupa manfaat jaminan kesehatan, ada kewajiban yang juga harus dipenuhi,” kata Iqbal.

Aturan JKN-KIS Terkait PHK

Berdasarkan Perpres Nomor 82 Tahun 2018, peserta JKN-KIS dari segmen PPU yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetap memperoleh hak manfaat jaminan kesehatan paling lama enam bulan setelah di-PHK tanpa membayar iuran. Manfaat jaminan kesehatan tersebut diberikan berupa manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.

PHK tersebut harus memenuhi empat kriteria yaitu PHK yang sudah ada putusan pengadilan hubungan industrial, dibuktikan dengan putusan/akta pengadilan hubungan industrial; PHK karena penggabungan perusahaan, dibuktikan dengan akta notaris;PHK karena perusahaan pailit atau mengalami kerugian, dibuktikan dengan putusan kepailitan dari pengadilan; atau PHK karena Pekerja mengalami sakit yang berkepanjangan dan tidak mampu bekerja, dibuktikan dengan surat dokter.

“Apabila terjadi sengketa atas PHK yang diajukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka baik pemberi kerja maupun pekerja harus tetap melaksanakan kewajiban membayar Iuran sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap,” tegas Iqbal.

Jika peserta yang mengalami PHK tersebut telah bekerja, maka ia wajib kembali memperpanjang status kepesertaannya dengan membayar iuran. Sementara jika ia tidak bekerja lagi dan tidak mampu, maka selanjutnya ia akan didaftarkan menjadi peserta PBI.

Baca juga: BPJS Kesehatan raih dua penghargaan internasional
Baca juga: Efisiensi kunci keberlanjutan asuransi kesehatan sosial
Baca juga: BPJS Kesehatan-Tangsel targetkan UHC 95 persen penduduk


 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018