Ribuan wartawan serta pekerja pers kehilangan pekerjaan dan beberapa media tutup dalam beberapa bulan belakangan.
Ekonomi negeri itu, yang dirundung masalah ditambah dengan pencabutan subsidi serta merosotnya penghasilan dari iklan, telah memaksa bahkan kelompok media besar yang stabil untuk menutup perusahaan mereka dan memutus hubungan kerja dengan wartawan.
Korban terbesar adalah Herald --majalah politik bulanan yang paling bergengsi dan tua di negeri tersebut-- yang berencana menerbitkan edisi terakhirnya pada Desember ini. Herald adalah milik Dawn Media Group, salah satu dari dua kelompok-media utama, dan dikenal karena pelaporannya yang kritis mengenai masalah politik dan keamanan.
Pada awal pekan ketiga Desember, Jang Group --kelompok media terbesar di negeri itu-- menutup tujuh perusahaan penerbitannya, termasuk surat kabarnya yang beredar luas, Daily News (Bahasa Inggris), dan Awam (Bahasa Urdu). Lebih dari 1.400 wartawan dan staf terkaitnya kehilangan pekerjaan dalam satu hari.
Kelompok media tersebut juga telah menutup surat kabar Jang edisi Peshawar dan Faisalabad --dua surat kabar terbesar yang berbahasa Urdu di negeri.
Express Media Group dan Dunya Media Group --kelompok media terbesar keempat dan ketiga-- juga telah memutus hubungan dengan lebih dari 200 wartawan selain memotong gaji pekerja yang tersisa sebesar 15 sampai 35 persen.
Menurut Uni Jurnalis Federal Pakistan (PFUJ), organisasi payung berbagai persatuan wartawan, lebih dari 2.000 wartawan telah mengalami pemutusan hubungan kerja setelah penutupan perusahaan penerbitan dan rancangan penghematan dalam beberapa bulan belakangan.
"Ini bukan krisis yang terjadi dalam satu malam. Malah, ini adalah bagian dari kegiatan penyensoran yang sudah berlangsung lama yang bertujuan menyusutkan `booming` (industri) media dan mengekang kebebasan pers," kata Afzal Butt, pemimpin PFUJ, kepada Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis.
Ia merujuk kepada lembaga sipil dan militer di negeri itu, yang dituduh oleh perhimpunan wartawan mendalangi kegiatan untuk memangkas ukuran industri media sehingga industri tersebut bisa dengan mudah ditangani.
Pakistan, tempat tinggal lebih dari 200 juta orang, hanya memiliki satu saluran televisi milik negara dan dua stasiun radio sampai 2001. Tapi, dalam delapan tahun berikutnya, jumlah stasiun televisi swasta naik jadi 50, berkat "kebijakan media terbuka" dari mantan penguasa militer Jend. Pervez Musharraf.
"Booming" media menguntungkan kelas wartawan tertentu, terutama wartawan televisi --yang menerima manfaat dan gaji besar serta juga menarik sangat banyak pemuda ke dunia jurnalistik.
Puluhan universitas mendirikan fakultas ilmu media untuk memenuhi keperluan industri media, yang "booming" saat itu.
Tapi sekarang, hanya segelintir saluran mampu membayar gaji wartawan dan karyawan tepat pada waktunya, bahkan Geo TV belum membayar gaji stafnya selama tiga bulan terakhir ini. Mereka menuding pengekangan iklan swasta dan pemerintah sebagai penyebab masalah mereka.
"Industri media berada di ambang keambrukan sekibat kebijakan anti-media oleh Kementerian Penerangan," kata Sarmad Ali, Presiden Perhimpunan Semua Surat Kabar Pakistan (APNS), badan perwakilan pemilik surat kabar, kepada Kantor Berita Anadolu.
"Pemerintah saat ini bermaksud memberi hanya 300 juta rupee dalam bentuk iklan buat surat kabar per tahun, dibandingkan dengan tiga miliar rupee selama pemerintah terdahulu. Pemerintah mengklaim terjadi suap oleh pemerintah terakhi, tapi saya bisa mengatakan bagaimana pemerintah ini bisa menjamin kebebasan pers, jika pers ambruk," katanya.
Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018