Jakarta, (ANTARA News) - Kementeraian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) menargetkan Bali sebagai salah satu sentra peternakan sapi di tanah air bebas penyakit Jembrana pada 2019.Jembrana harus bebas di Bali agar peternak bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi karena bisa menjual ternak mereka ke seluruh indonesia
Dirjen PKH I Ketut Diarmita di Denpasar, Jumat mengatakan, selama ini provinsi Bali dikenal sebagai satu-satunya wilayah yang menghasilkan sapi Bali di tanah air.
Namun akibat penyakit Jembrana tersebut, lanjutnya, bibit sapi Bali yang dihasilkan peternak dari provinsi tersebut tidak bisa dijual ke luar wilayah atau daerah lain di tanah air karena resiko penyakit tersebut.
"Jembrana harus bebas di Bali agar peternak bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi karena bisa menjual ternak mereka ke seluruh indonesia," katanya ketika memberikan pengarahan di Balai Besar Veteriner (BB Vet) Denpasar.
Ketut mengatakan, produksi sapi Bali yang dihasilkan peternak di wilayah Bali cukup tinggi, sementera itu masyarakat di daerah tersebut tidak mengkonsumsi daging sapi sehingga produksi berlebihan.
"Karena produksinya berlebihan namun tidak bisa menjual ke luar Bali akibat masih adanya penyakit Jembarana, maka terjadi penyelundupan ke luar provinsi Bali," katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, tugas BB Veteriner untuk mendorong Dinas Peternakan di tingkat kabupaten dan provinsi tersebut untuk memberikan perhatian sehingga penyakit ini bisa diberantas.
Terkait kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit tersebut, Dirjen mengatakan, secara pasti belum melakukan perhitungan namun demikian anggaran yang dikeluarkan untuk memberantas virus Jembrana dan Rabies di Bali cukup tinggi yakni Rp300 miliar selama 2008-2018.
Menurut dia, selama ini peternak di Bali hanya boleh beternak sapi Bali karena untuk menjaga plasma nutfah dari Bali. Seharusnya mereka diberikan insentif memadai untuk tingkatkan kesejahteraan mereka.
Peternak Bali seharusnya tidak hanya menjual sapi hidup ke luar wilayah tapi sudah dalam bentuk daging olahan, sehingga memberikan nilai tambah serta, penyerapan tenaga kerja.
Ketut mengatakan, ke depan diharapkan ada investor yang mengembangkan rumah potong hewan (RPH) sehingga muncul industri pengolahan daging sapi di Bali dan mampu bersaing dengan daging impor.
"Sekarang ini setiap hari sekitar 1.300 ton daging impor yang masuk ke Bali untuk kebutuhan hotel dan restoran, tapi sapi Bali ditolak keluar," katanya.
"Saya mau, karena di sini sudah RPH internasional yang belum termanfaatkan dengan baik, ada investor yang menanamkan untuk mengembangkannya sehingga nantinya yang dijual ke luar bukan sapi tapi olahan seperti nugget susu. Dengan demikian, tenaga kerja di Bali juga terserap. Kalau jual hidup susah penyerapannya," katanya.
Sebelumnya Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Ditjen PKH Sugiono saat Panen Pedet di Kabupaten Buleleng Bali di Bali Kamis (20/11) mengatakan, program Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting) di Provinsi Bali tahun ini menghasilkan kelahiran sapi sebanyak 48.222 ekor atau 113 persen dari target 42.728 ekor.
Angka kelahiran tersebut hasil dari kegiatan Inseminasi Buatan, dimana untuk tahun ini mencapai 96.012 dosis atau 126 persen dari target 76.300 dosis, dengan realisasi kebuntingan mencapai 58.468 ekor bunting atau 112 persen dari target 53.410 bunting.
"Melalui Upsus Siwab disamping terjadinya penambahan populasi juga mendapatkan kualitas genetik ternak, sehingga dapat meningkatkan daya saing usaha dan nilai tambah, serta peningkatan pendapatan peternak," katanya.
Baca juga: Peternak waspadai serangan penyakit Jembrana
Baca juga: Minat masyarakat Bali beternak sapi terus dibangkitkan
Pewarta: Subagyo
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2018