"Bahwa ini bukan tsunami karena gempa vulkanik tapi karena longsor seluas 64 hektare dari Gunung Anak Krakatau," jelas Menko Luhut dalam siaran pers Kementerian Koordinator Kemaritiman yang diterima di Jakarta, Selasa.
Ia mengemukakan bahwa hal tersebut merupakan teori awal yang disimpulkan oleh tim yang sudah mulai bekerja sejak hari Minggu (23/12).
Koordinasi dilaksanakan dengan melibatkan para ahli dari berbagai instansi seperti BPPT, LIPI, BMKG, BIG, LAPAN, Pushidros TNI-AL dan Kementerian ESDM.
Analisa sementara para ahli mengarah pada adanya material yang lepas dalam jumlah banyak di lereng terjal Gunung Anak Krakatau yang dipicu oleh tremor dan curah hujan tinggi.
Untuk membuktikan kebenaran teori tersebut, tim akan melakukan survei geologi kelautan dan batimetri di komplek Gunung Anak Krakatau setelah situasi dirasa aman dan memungkinkan.
Selain survei laut, tindak lanjut tim tersebut antara lain akan dilakukan konfirmasi citra satelit resolusi tinggi oleh LAPAN, survei udara oleh BPPT, data GPS dan PASUT oleh BMKG, BIG, Pushidros TNI-AL, serta melibatkan industri di kawasan.
Khusus mengenai solusi jangka panjang dalam menghadapi bencana alam, pemerintah sedang merancang kebijakan yang lebih terintegrasi dan holistik di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
"Kemarin kami, BMKG, Basarnas, BNPB sudah rapatlah bersama semua (instansi terkait) untuk menyusun Perpres terpadu," terang Menko Maritim yang menargetkan untuk menyelesaikannya pada Januari 2019.
Luhut sembari menjelaskan mengenai rencana peningkatan teknologi alat deteksi dini tsunami yang menjadi salah satu bagiannya.
Sebagaimana diwartakan, Ahli ekologi dan evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Tukirin menjelaskan kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut dan gelombang pasang.
Tukirin saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/12), sependapat dengan yang dikemukakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam.
Tukirin sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau itu, menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.
Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dinilai dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.
Baca juga: Kemacetan jalan menuju sumur hambat penyaluran bantuan
Baca juga: Jemaat HKBP Rawamangun doakan korban tsunami Selat Sunda
Baca juga: Gereja Pantai Carita tunda ibadah kebaktian Natal
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2018