• Beranda
  • Berita
  • Harga minyak melonjak 8 persen, setelah turun tajam

Harga minyak melonjak 8 persen, setelah turun tajam

27 Desember 2018 06:25 WIB
Harga minyak  melonjak 8 persen, setelah turun tajam
Illustrasi: Kilang Minyak TPPI Tuban. Presiden Joko Widodo (kedua kiri) dan Ibu Negara Ny Iriana Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Dirut PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Katarina Denni Wisnu Wardani (kiri) berjalan meninjau Kilang Minyak TPPI di Tuban, Jawa Timur. PT Pertamina (Persero) menyebutkan pengoperasian kembali kilang minyak TPPI tersebut dapat menghemat devisa sebesar 2,2 miliar Dolar AS setahun karena mampu mengurangi impor BBM dan LPG. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Pasar masih benar-benar mengkhawatirkan permintaan

New York (ANTARA News) - Harga minyak melonjak pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), membukukan kenaikan harian terkuat dalam lebih dari dua tahun, sekaligus berbalik dari penurunan tajam yang menekan minyak mentah ke posisi terendah sejak 2017.

Minyak mentah AS dan Brent naik sekitar 8 persen, kenaikan satu hari terbesar sejak 30 November 2016, ketika OPEC menandatangani perjanjian penting untuk memangkas produksi.

Belum jelas apakah pembelian lebih lanjut akan mendorong harga lebih tinggi lagi, setelah meja-meja perdagangan dipenuhi lebih banyak staf setelah tahun baru dimulai.

Minyak mentah telah terperangkap dalam pelemahan pasar yang lebih luas, karena penutupan (shutdown) pemerintah AS, tingkat suku bunga AS yang lebih tinggi, dan perselisihan perdagangan AS-China mencemaskan para para investor dan memperburuk kekhawatiran atas pertumbuhan global.

"Pasar masih benar-benar mengkhawatirkan permintaan," kata Wakil Presiden Intelijen Pasar di DrillingInfo,  Bernadette Johnson, di Denver, seperti dikutip Reuters . Aksi jual "tidak menandakan kekuatan kepercayaan dalam permintaan, tapi kami masih berjalan terlalu cepat. Kami masih percaya 45 dolar AS terlalu rendah. "

Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari, menetap di 46,22 dolar AS per barel, naik 3,69 dolar AS, atau 8,7 persen. Sekalipun dengan kenaikan hari itu, minyak mentah AS masih kehilangan hampir 40 persen dari penutupan tertinggi Oktober di lebih posisi lebih dari 76 dolar AS per barel.

Sementara itu, patokan internasional, minyak mentah Brent untuk pengiriman Januari, naik 4,0 dolar AS atau 8,0 persen, menjadi 54,47 dolar AS per barel. Brent sebelumnya jatuh ke posisi 49,93 dolar AS, terendah sejak Juli 2017.

Penjualan baru-baru ini "terasa kurang didorong secara fundamental dan lebih merupakan fungsi dari krisis pasar secara keseluruhan karena meningkatnya volatilitas ekuitas dan meningkatnya kekhawatiran makro telah membebani sejumlah kelas-kelas aset," tulis analis di Tudor, Pickering & Holt.

Dana-dana telah mengalami kerugian besar di pasar minyak tahun ini, dengan rata-rata adviser fund perdagangan komoditas, atau CTA, turun sebesar 7,1 persen pada tahun ini hingga pertengahan Desember, menurut data Credit Suisse.

Kepala perusahaan minyak Rusia Rosneft, Igor Sechin, memprediksi harga minyak mencapai kisaran 50 dolar AS hingga 53 dolar AS pada 2019, jauh dari tertinggi empat tahun di 86 dolar AS untuk minyak mentah Brent yang dicapai awal tahun ini.

Meski demikian, prospek minyak tidak selemah pada 2016 ketika kelebihan pasokan meningkat, karena Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) kali ini mencoba menopang pasar, kata Jakob.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu-sekutunya termasuk Rusia memutuskan awal bulan ini untuk memangkas produksi pada 2019, membatalkan keputusan Juni untuk memompa lebih banyak minyak. Grup gabungan berencana untuk menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari pada tahun depan.

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018