Pada Senin (10/12) jalur utama Kota Padang menuju Bukittinggi putus akibat jembatan di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, ambruk.
Ambruknya jembatan tersebut karena derasnya air sungai Batang Kalu sehingga menggerus pondasi jembatan hingga hanyut.
Akibatnya pengendara yang hendak menuju ke Bukittinggi dan sebaliknya terpaksa harus melewati jalur alternatif, yakni melewati Malalak Sicincin atau Padang- Sitinjau Laut hingga ke Solok.
Ambruknya jembatan di Kayu Tanam membuat pemerintah bergerak cepat, hanya berselang tiga hari setelah kejadian, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono langsung datang ke lokasi.
Untuk sementara diputuskan dibangun jembatan bailey sebagai akses sementara hingga dibangun jembatan permanen.
Saat pembangunan jembatan darurat masih berlangsung tepat pada Kamis (13/12), Jalan Padang-Solok tidak dapat dilewati karena tertimbun material longsor akibat hujan deras yang mengguyur daerah itu.
Tidak hanya menyebabkan jalan utama menuju Jambi itu tak bisa dilewati, material longsor juga menyeret satu unit bus, truk, dan minibus ke pinggir jurang mengakibatkan lima orang luka-luka serta satu orang meninggal dunia.
Jalan tersebut baru bisa dilewati kembali pada Jumat (14/12) setelah dilakukan pembersihan material menggunakan alat berat.
Sementara pembangunan jembatan darurat di Kayu Tanam baru rampung pada Sabtu (15/12) dan bisa dilewati kendaraan hanya satu jalur sehingga menimbulkan antrean panjang.
Untuk jembatan permanen pemerintah menganggarkan biaya hingga Rp15 miliar dengan panjang 30 meter dan diperkirakan selesai dalam waktu enam bulan.
Mengantisipasi antrean panjang karena jembatan hanya bisa dilewati kendaraan satu arah pada 29 Desember 2018 dibangun jembatan kedua.
Jembatan tersebut diperkirakan bisa digunakan pada pekan pertama Januari 2019. Saat ini dengan satu jembatan pengendara harus antre hingga satu jam dan saat akhir pekan bisa mencapai dua jam.
Daya dukung lingkungan
Berdasarkan analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kerusakan daya dukung lingkungan dan vegetasi berpotensi memicu bencana hidrometeorologis, berupa banjir, kekeringan, badai hingga tanah longsor.
"Amblesnya jembatan di Kayu Tanam yang berada di jalur utama Padang-Bukittinggi terjadi karena mulai rusaknya daya dukung lingkungan sehingga ketika hujan turun dengan intensitas tinggi air sungai meluap," kata pengamat meteorologi dan Geofisika BMKG Stasiun Iklim Sicincin Rizky Armei Saputra.
Menurutnya kawasan Kayu Tanam secara historis dahulunya menjadi daerah dengan curah hujan tertinggi di Sumatera Barat dengan jumlah tahunan 5.000 - 5.400 milimeter.
Sementara berdasarkan data curah hujan saat kejadian pada Senin, 10 Desember 2018, hujan terjadi sejak pukul 16.00 WIB sore dan sangat lebat pada pukul 16.40 WIB selama 40 menit hingga pukul 17.20 WIB .
Kemudian hujan tetap lebat dan pada pukul 18.00 WIB, kembali sangat lebat hingga pukul 18.30 WIB dan terus berlangsung hingga pukul 21.00 WIB. Puncak hujan terjadi pada pukul 17.10 WIB dengan intensitas 9,6 milimeter per 10 menit.
"Artinya selama lima jam hujan yang terjadi dan daya dukung vegetasi serta lingkungan yang mulai rusak maka terjadilah luapan air sungai yang memicu amblesnya jembatan," ujar dia.
Ia menyampaikan berdasarkan data yang dihimpun di wilayah tersebut selama 10 hari hujan terjadi berturut-turut dengan curah hujan yang sangat tinggi yaitu 434 milimeter dan 419 milimeter.
Hal ini berada di atas normal curah hujan Desember dasarian pertama. Faktor yang menjadi penyebab peningkatan curah hujan adanya tekanan rendah di perairan barat Mentawai yang mendorong terbentuknya pertumbuhan awan-awan hujan di Sumatera Barat, katanya.
Pengelolaan DAS
Sejalan dengan itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat menenggarai musibah banjir dan longsor yang terjadi di beberapa daerah di Sumbar pada Desember 2018 ?dipicu oleh buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
"Dari analisis Walhi Sumatera Barat, beberapa wilayah yang mengalami banjir seperti Nagari Guguak, Kecamatan Kayu Tanam, Limapuluh Kota, Pesisir Selatan dan Kota Padang memiliki topografis yang terjal dengan aliran sungai yang pendek," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini.
Menurutnya topografis seperti ini menyebabkan aliran air yang cenderung tajam dan menghantam bila curah hujan tinggi, selain itu DAS di lokasi kejadian banjir juga terancam dan kritis.
"Ini bisa dibuktikan dari data deforestasi hutan dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat bahwa hutan Sumbar telah mengalami deforestasi dan degradasi dari 1999 hingga 2016 seluas 7.900 hektare atau setara dengan tiga kali luas Kota Bukittinggi," ujar dia.
Ia menilai deforestasi tersebut terjadi akibat pembangunan dalam sektor legal dan ilegal. Sektor legal alih fungsi lahan, misalnya dalam pemberian izin tambang dalam kawasan hutan dan hulu sungai yang mengancam ekosistem sungai dan kondisi hutan.
Selain itu, pemberian izin oleh pemerintah dalam sektor kehutanan, seperti IUPHH-HA dan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang mengakibatkan konversi hutan primer menjadi sekunder, bahkan menjadi nonhutan sehingga merusak ekosistem DAS dan menyebabkan longsor dan banjir
Walhi menilai jika alih fungsi lahan ini tidak dikendalikan dan fungsi hutan tidak dipertahankan maka kejadian banjir akan terus terjadi setiap musim penghujan.
Pemerintah seharusnya mampu mengelola secara komperhensif dalam pengelolaan DAS secara terpadu sehingga fungsi hutan pada areal hulu DAS dapat menjadi upaya mitigasi bencana longsor dan banjir ketika intensitas hujan tinggi, ujar dia.
Selain faktor cuaca, Walhi juga menyorot soal beban kendaraan yang melebihi tonase jalan sehingga memicu bencana, terutama di jalur Padang - Solok di Sitinjau Lauik yang ramai dilewati kendaraan membawa CPO dan batu bara.
"Getaran truk-truk besar itu memicu retakan di tebing jalan, namun tidak ada upaya penguatan tebing, sehingga saat hujan, air hujan akan masuk ke retakan-retakan yang ada di sepanjang tebing dan memicu longsor. Sebaiknya ada evaluasi kelas jalan dan jenis kendaraan serta beban kendaraan yang melewati jalur tersebut," ujar dia.
Sebelumnya sebanyak 16 daerah aliran sungai dipulihkan kondisinya oleh Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup Agam Kuantan karena kondisinya yang kritis.
"Penyebab DAS kritis itu ada macam-macam, mulai dari faktor manusia hingga kondisi iklim", kata Kepala Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup Agam Kuantan Nursida.
Menurut dia dari 386 DAS yang dikelola kondisinya secara umum pendek dan topografi curam serta curah hujan tinggi sehingga berpotensi banjir dan longsor.
Karena DAS pendek kalau pengelolaannya tidak berbasis lingkungan amat rentan terhadap longsor dan banjir, kata dia.
Ia menyampaikan sebagian besar penyebab kritis DAS adalah faktor manusia, seperti membuka lahan di hulu hingga membuka lahan di lereng tanpa terasering.
Nursida berharap masyarakat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan menjaga lingkungan supaya tidak rusak.
"Itu bisa dimulai dari tidak membuang sampah ke sungai, menanam pohon di daerah yang masih terbuka dan tidak menebang hutan sembarangan apalagi di kawasan hutan lindung," ujarnya.*
Baca juga: Jalur Padang-Solok sudah bisa dilalui kendaraan
Baca juga: Tiga mobil terseret longsor di Sitinjau Lauik, Padang
Baca juga: Akses jalan Padang-Jambi terputus akibat longsor
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019