Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan membutuhkan butuh dana setidaknya Rp5 miliar untuk merevitalisasi satu buoy pendeteksi tsunami agar bisa ditempatkan di Selat Sunda.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya ALam BPPT Hammam Riza di Jakarta, Kamis, mengatakan BPPT terus berupaya merevitalisasi alat pendeteksi tsunami, yang akan dinamai Buoy Merah Putih, supaya bisa segera dipasang di perairan Gunung Anak Krakatau dan sekitarnya.
"BPPT siap untuk menempatkan buoy di sekitar Gunung Anak Krakatau. Buoy ini penting sebagai peringatan dini, agar penduduk di wilayah yang berpotensi terkena tsunami memiliki waktu untuk dapat dievakuasi ke shelter terdekat," kata dia.
Menurut Hammam, revitalisasi satu unit buoy berikut pemasangan dan pemeliharaannya membutuhkan biaya sekitar Rp5 miliar.
"Revitalisasi ini ya kita oprek lagi buoy yang dahulu sudah rusak akibat vandalisme. Kita gunakan panel tenaga surya untuk sumber tenaganya, serta kita upayakan semua sensornya lengkap kembali. Butuh waktu, semoga dengan adanya dana khusus bisa lebih cepat prosesnya hingga pemasangan," katanya.
Menurut informasi dari para nelayan, perairan di sekitar buoy biasanya penuh dengan ikan sehingga menarik para nelayan untuk memancing di sekitarnya. Hamam berharap ke depan kondisi itu tidak lagi memicu aktivitas yang bisa menimbulkan kerusakan buoy.
Ia menekankan pentingnya peran publik dalam menjaga buoy.
"Publik harus semakin peduli terhadap pentingnya teknologi untuk membangun sistem peringatan dini yang handal seperti buoy ini. Jika BUOY sudah ada, kepada masyarakat dihimbau agar perlunya menjaga bersama, karena ini alat yang dibangun negara supaya kita tetap selamat," katanya.
Ia menjelaskan buoy yang dipasang 100 sampai 200 kilometer dari pantai dapat mengirimkan informasi data terkini mengenai gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi menimbulkan tsunami.
"Sinyal dari buoy di tengah laut itu akan semakin intens dalam hitungan detik, mengirimkan sinyal ke pusat data sistem peringatan dini secara real time jika ada gelombang yang melewatinya. Semakin tinggi dan kencang gelombang, maka sinyal yang dikirim frekuensinya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik," kata Hamam.
Hitungan awamnya, jika kecepatan gelombang tsunami antara 500 sampai 700 kilometer per jam, minimal ada waktu 10-15 menit bagi warga untuk menyelamatkan diri ke tempat penampungan terdekat. Informasi ini sangat penting bagi masyarakat yang bermukim di wilayah yang rentan kena terpaan bencana.
"Masyarakat di pesisir atau wilayah berpotensi tsunami harus memiliki waktu evakuasi yang cukup. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dini yang handal, dalam hal ini ya buoy disertai teknologi lain seperti kabel bawah laut, maupun pemodelan sebelumnya," kata Hammam.
Hammam mengatakan BPPT tidak hanya mengembangkan buoy, tapi juga kabel bawah laut (Cable Based Tsunameter/CBT) untuk meningkatkan akurasi, presisi dan keandalan deteksi dini tsunami.
"Saat ini selain persiapan membangun Buoy Merah Putih, BPPT juga telah menyiapkan kabel bawah laut sepanjang tiga kilometer. Kami harap yang kami lakukan ini mendapat dukungan pemangku kepentingan strategis," katanya.
CBT, menurut dia, telah dikembangkan di beberapa negara dan dimanfaatkan antara lain oleh Kanada, Jepang, Oman dan Amerika Serikat. Dalam forum komunikasi antarperekayasa CBT di seluruh dunia, disepakati juga bahwa teknologi itu merupakan solusi alternatif bagi permasalahan dalam pemasangan buoy seperti biaya yang mahal dan ancaman vandalisme.
Tiga buoy yang membutuhkan revitalisasi rencananya dipasang di sekitar Pulau Anak Krakatau, Bengkulu dan arah Pelabuhan Ratu, wilayah-wilayah yang diduga merupakan zona subduksi.
Baca juga:
BPPT siap revitalisasi tiga buoy tsunami untuk ditempatkan di Gunung Anak Krakatau
Saatnya membangun kembali sistem peringatan dini bencana
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019