Sampah plastik pun bisa "disulap" jadi rupiah

7 Januari 2019 06:15 WIB
Sampah plastik pun bisa "disulap" jadi rupiah
Karyawan swalayan mengemas barang belanjaan konsumen dengan tas ramah lingkungan di pusat perbelajaan di Denpasar, Bali, Kamis (3/1/2019). Pemerintah Kota Denpasar menetapkan mulai 1 Januari 2019 pedagang tidak lagi memberikan kantong plastik tempat barang bagi pembeli untuk mengurangi pencemaran sampah plastik. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/aww.)
Denpasar (ANTARA News) - Wajah I Made Mustika, Ketua Badan Usaha Milik Desa Paksebali di Kabupaten Klungkung, Bali, semakin sumringah karena mendapat hibah mesin pengolah sampah plastik dari Bank Indonesia Provinsi Bali.

Kehadiran dua unit mesin Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) itu seakan menjadi amunisi yang memotivasi mereka menghasilkan peluang ekonomi dengan mendaurulang sampah, termasuk bahan plastik menjadi sesuatu yang lebih bernilai.

BumDes itu merupakan pengelola Tempat Pengolahan Sampah (TPS) di Desa Paksebali, Klungkung, yang bangunannya baru diresmikan awal Desember 2018.

Di lahan seluas sekitar 2,5 are itu, Mustika mengoordinasi 14 orang pekerja yang dibagi tugas dalam dua giliran kerja untuk mengolah sampah.

Rata-rata setiap harinya, TPS itu menerima sekitar dua truk sampah yang terdiri atas sampah organik dan anorganik atau sampah plastik hasil limbah rumah tangga.

Menggunakan mesin TOSS, limbah itu akan diolah menjadi pelet yang dapat dimanfaatkan sebagai gasifier atau bahan bakar mesin pembangkit listrik serta energi alternatif untuk kebutuhan rumah tangga dalam bentuk briket.

Pelet dapat diproduksi dari sampah organik atau bisa juga dari campuran sampah plastik yang kemudian dipilah untuk selanjutnya menjalani proses composting dengan cairan bio antivaktor.

Bisa juga menggunakan cairan bio vaktor secara alami yang dibuat dengan buah busuk dicampur gula pasir atau gula merah.

Namun mereka harus menunggu hingga tiga bulan sebelum bisa menggunakan cairan bio vaktor alami itu, lalu setelah sekitar dua minggu, maka sampah yang sudah terfermentasi itu akan dicacah dengan dicampur air.

Campuran itu, kemudian dimasukkan ke dalam mesin TOSS untuk diolah menjadi pelet. Meski proses produksi saat ini baru dimulai, namun ia sudah berniat melakukan penjajakan kerja sama bisnis dengan instansi terkait seperti salah satunya dengan Indonesia Power.

Peluang ekonomi cukup menggiurkan karena harga per kilogram pelet bisa mencapai kisaran Rp400-Rp1.000 dengan satu mesin TOSS mampu memproduksi sekitar 200 kilogram pelet per jam.



Mengurangi plastik

Mendaurulang sampah plastik menjadi pelet merupakan salah satu upaya mengurangi peredaran plastik yang kerap mencemari lingkungan.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman telah mengidentifikasi sebanyak 87 kabupaten/kota besar dan pesisir di Indonesia turut berkontribusi sebesar 80 persen terhadap sampah di laut.

Kepala Bidang Pemberdayaan Perindustrian Maritim Kemko Kemaritiman Andreas Hutahaean sebelum pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia (OOC) di Bali beberapa waktu lalu mengadakan penelitian bersama dengan Bank Dunia tahun 2017.

Dari penelitian itu disebutkan bahwa dengan estimasi jumlah penduduk mencapai 150 juta orang, maka menghasilkan sekitar 38 juta ton pertambahan sampah per tahun.

Hampir 14 persen sampah ditemukan di laut merupakan sampah plastik yang sebagian besar di antaranya berasal dari daratan atau terbawa arus sungai.

Berkaitan dengan hal itu, sejumlah kalangan di Bali kini gencar mencarikan solusi agar sampah plastik tidak semakin membebani lingkungan apalagi Pulau Dewata merupakan daerah tujuan wisata.

Oleh karenanya, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Azka Subhan mengatakan pihaknya memberikan bantuan itu sebagai bagian untuk membantu pemerintah daerah dalam menanggulagi sampah plastik.

Dengan begitu, pencemaran lingkungan dari sampah berbahan plastik dapat diminimalisasi karena dapat didaurulang menjadi bahan bakar alternatif, sekaligus menambah daya tarik daerah setempat sebagai desa wisata.

Hal itu mendapat apresiasi dari Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta. Ia mengharapkan upaya tersebut mengubah pola pikir masyarakat agar tidak membuang sampah secara sembarangan, khususnya dari plastik.

Di Klungkung saja, permintaan pelet yang digunakan sebagai bahan bakar mesin pembangkit listrik diperkirakan mencapai sekitar 3,5 ton per hari.

Jadi, potensi itu menjadi peluang bisnis baru sehingga memberikan efek ganda untuk pemberdayaan ekonomi setempat.



Aturan hukum

Gubernur Bali Wayan Koster telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai yang telah terbit pada 21 Desember 2018.

Melalui peraturan itu, maka pemerintah mewajibkan setiap produsen, distributor dan pemasok, serta pelaku usaha untuk memproduksi, mendistribusikan, memasok, dan menyediakan pengganti plastik sekali pakai.

Pergub itu juga sekaligus melarang untuk memproduksi, mendistribusikan, memasok, dan menyediakan plastik sekali pakai seperti kantong plastik, polysterina atau styrofoam dan sedotan plastik.

Tim juga dibentuk untuk melakukan edukasi, sosialisasi, konsultasi, bantuan teknis, pelatihan/pendampingan dan penggunaan bahan non-plastik oleh produsen, distributor, penyedia, dan masyarakat pada umumnya serta penegakan hukum.

Sanksi akan diberikan bagi pihak yang tidak mengindahkan peraturan itu dengan waktu enam bulan bagi setiap produsen, pemasok, pelaku usaha dan penyedia plastik sekali pakai untuk menyesuaikan usaha sejak aturan itu diundangkan.

Pemerintah Kota Denpasar memberlakukan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik.

Perwali yang efektif berlaku 1 Januari 2019 itu diterapkan untuk pusat perbelanjaan, toko modern, pasar tradisional, hingga toko kelontong.

Kalangan pengusaha di Bali mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam melarang penggunaan plastik, termasuk dalam pelayanan konsumen di sejumlah toko modern dan pusat perbelanjaan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bali Anak Agung Alit Wiraputra mendorong sosialisasi harus terus dilakukan, karena hal yang sulit adalah mengubah budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan penggunaan plastik itu.

Pelaku usaha juga membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan kebijakan tersebut mengingat mereka mengalokasikan anggaran sebelumnya untuk membeli plastik.

Melihat dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pencemaran sampah plastik itu, kesadaran masyarakat juga perlu terus diperkuat.

Keterlibatan BumDes dalam mengolah sampah plastik menjadi peluang ekonomi di Klungkung itu bisa menjadi salah satu contoh peran masyarakat mengurangi plastik.

Tak hanya itu, elemen masyarakat luas juga diharapkan berkontribusi, setidaknya dengan langkah kecil seperti membawa kantong berbahan kain sendiri dari rumah khususnya ketika berbelanja dan tidak membuang sampah sembarangan.

Sembari berjibaku mengurangi pemanfaatan plastik, saatnya juga untuk semakin sadar mengumpulkan sampah dari plastik.

Setelah terkumpul, sampah plastik itu kemudian bisa dijual kepada pengepul atau ditampung kepada badan usaha yang mengolah sampah untuk didaur menjadi bahan bernilai.

Setidaknya daur ulang sampah plastik itu dapat menambah pundi-pundi rupiah.*


Baca juga: Menguatkan simpul jaringan komoditas sampah plastik

Baca juga: Butuh sistem pengelolaan yang jelas atasi sampah plastik



 

 

Pewarta: Naufal Fikri Yusuf dan Dewa Wiguna
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019