"Kami kritik tuntutan KPK yang masih minim, kami masih mencatat sekitar 7 tahun 2 atau 3 bulan pidana penjara sementara para pelaku korupsi itu memungkinkan untuk dituntut 20 tahun bahkan seumur hidup kalau kita melihat pasal-pasal di Undang-Undang Tipikor," kata peneliti ICW , Kurnia Ramadhana, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.
ICW pun juga menganggap putusan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ataupun Mahkamah Agung terhadap kepala daerah belum maksimal karena hanya menyentuh angka 6 tahun 2 bulan pidana penjara.
Pihaknya pun masih mencatat bahwa fokus perampasan aset dan juga pengembalian kerugian negara yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah yang terjerat korupsi juga belum maksimal.
Selanjutnya, ICW juga mendorong agar kepala daerah yang terjerat korupsi dicabut hak politiknya baik itu di Pengadilan dan juga dituntut untuk dicabut hak politiknya oleh Jaksa KPK.
"Itu sebenarnya sudah mulai berjalan akan tetapi belum terlalu kelihatan maksimal. Yang dilakukan KPK dan juga di Mahkamah Agung atau di Pengadilan baru sekitar 30 persen dari seluruh terdakwa kepala daerah yang diputus dicabut hak politiknya," tuturnya.
Padahal, kata dia, pencabutan hak politik merupakan instrumen yang bisa dipakai sebagai salah satu efek jera.
"Harapan kita juga bukan hanya fokus di pidana badan penjara saja tetapi isu perampasan aset, isu memiskinkan koruptor itu harus menjadi fokus KPK pada 2019 ini," ucap dia.
Selain itu, ICW juga mendorong agar pasal pencucian uang juga diterapkan terhadap kepala daerah yang melakukan korupsi.
ICW mencatat dari 104 kepala daerah yang terjerat korupsi hanya sekitar lima kepala daerah yang dikenakan pasal pencucian uang.
"Padahal kita paham bahwa salah satu instrumen untuk merampas harta yg sudah digunakan oleh pelaku korupsi menggunakan instrumen pencucian uang karena kita anggap kalau menggunakan mekanisme Undang-Undang Tipikor belum terlalu maksimal," ujar dia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019