Bandar udara internasional Diwopu di Kota Urumqi baru beberapa hari yang lalu dibuka kembali setelah sempat mengalami penutupan akibat hujan salju dalam intensitas tinggi di wilayah barat China.Siapa saja boleh ke Xinjiang. Di sini banyak objek wisata menarik yang tidak kalah dengan di berbagai tempat lainnya
Landasan pacu dan landas langsir satu-satunya bandara internasional di Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang itu sudah bisa didarati dan dilalui berbagai jenis pesawat dengan aman.
Di beberapa bagian berselimutkan salju kira-kira seukuran betis hingga lutut orang dewasa. Tumpukan salju itu tidak mudah terurai selama suhu udara tidak kunjung turun dari level 15 di bawah 0 dejarat Celcius.
Jalan-jalan utama di Urumqi pada Kamis (3/1/2019) siang relatif sepi. Sama sepinya dengan suasana di dalam satu-satunya kereta bawah tanah (MRT) di Xinjiang. MRT yang baru 1,5 tahun beroperasi itu hanya melintas di ruas jalur Bandara Diwopu-Balou sepanjang 17 kilometer.
Secara sederhana dapat dinilai bahwa pembangunan di Xinjiang masih tertinggal dibandingkan dengan daerah otonomi atau provinsi lain di daratan Tiongkok.
Indikator lain dapat dilihat dari postur ekonomi. GDP Xinjiang pada 2017 hanya 1,09 triliun RMB sehingga cukup bercokol di peringkat ke-26 dari 32 daerah otonomi dan level provinsi di China.
Namun pendapatan perkapita Xinjiang masih lumayan berada pada posisi ke-21 dengan 45.099 RMB, di atas Sichuan (44.651 RMB) dan di bawah Jiangxi (45.187 RMB).
Islam-Komunis
Sebagian besar bangunan di wilayah paling barat China itu bergaya Timur-Tengah. Mulai kantor pemerintahan, sekolahan, hotel, rumah makan, sampai apartemen pun kental nuansa kearab-araban, senada dengan tulisan dan papan petunjuk jalan yang menggunakan aksara Uighur berpadu dengan Hanzi.
Sekilas abjadnya mirip dengan huruf Arab. Tapi jika dicermati rangkaian huruf demi huruf, tulisan Uighur itu pelafalannya tidak seperti Arab. Hampir sama dengan Arab Pego yang diartikulasikan dalam bahasa Jawa oleh kalangan santri tradisional untuk membedah kitab klasik.
Ornamen kubah dengan warna hijau dan kuning emas yang melambangkan budaya Islam yang sangat lekat dengan Xinjiang, berpadu dengan warna merah menyala sebagai identitas Partai Komunis yang berkuasa di China.
Baliho dan videotron dari berbagai ukuran yang menampilkan gambar Presiden Xi Jinping dalam berbagai aktivitas juga menghiasi beberapa tempat strategis.
Palu dan arit berwarna merah sebagai lambang Partai Komunis China (PKC) juga bertebaran, termasuk dalam bentuk tiga dimensi di atas gedung bertingkat milik partai itu. Di berbagai daerah lain di China sangat jarang kantor sekretariat PKC dilengkapi dengan logo palu arit tiga dimensi berukuran besar di atap gedung seperti yang terlihat di Urumqi itu.
Lalu lintas di Urumqi relatif lancar dan tertib. Tidak terlihat kepadatan kendaraan bermotor yang sangat berarti. Demikian juga dengan trotoar, tidak banyak terlihat para pejalan kaki.
Tidak diketahui pasti apakah memang pada musim dingin seperti sekarang ini orang malas keluar atau memang pada Kamis (3/1/2019) hingga Minggu (6/1/2019) suasana menjadi sepi karena ada lima wartawan asing yang mengunjungi Xinjiang.
Padahal sebelumnya beberapa media China menurunkan laporan jika Xinjiang telah mengalami "booming" pariwisata sejak September 2018. Pemerintah China juga menyatakan bahwa Xinjiang bukan daerah tertutup seperti anggapan banyak orang selama ini.
Aksesnya pun banyak pilihan, terutama penerbangan langsung dari Beijing dan beberapa kota besar lain di China, juga Pakistan dan Kazakshtan.
Xinjiang juga dapat dicapai dengan perjalanan darat dari Beijing melalui jalan tol dan kereta api dengan melintasi Gurun Gobi yang menawan dengan waktu tempuh 24 hingga 35 jam.
"Siapa saja boleh ke Xinjiang. Di sini banyak objek wisata menarik yang tidak kalah dengan di berbagai tempat lainnya," kata Deputi Direktur Hubungan Luar Negeri dan Pusat Pers Internasional (IPC) Kementerian Luar Negeri China, Liu Chang, di Urumqi.
Berbeda dengan Gansu yang juga banyak dihuni kaum muslim seperti Xinjiang. Di provinsi tetangga Xinjiang itu masih banyak orang lalu-lalang mengenakan busana muslim/muslimah di jalanan dan pusat keramaian lainnya. Di Xinjiang siang itu, kesan tersebut tak tertangkap.
Tapi ternyata korelasi antara situasi tersebut dengan kedatangan lima wartawan asing, termasuk Antara, tidak sepenuhnya tepat karena didapati situasi yang berbeda di Xinjiang International Grand Bazaar.
Pusat perbelanjaan berbagai jenis makanan khas, cendera mata, dan alat musik tradisional Uighur itu merupakan salah satu tujuan wisata yang wajib dikunjungi siapa saja yang menginjakkan kaki di daerah level provinsi berpenduduk sekitar 22 juta jiwa itu.
Di tengah trotoar yang menawarkan beraneka macam barang tersebut berdiri megah bangunan masjid bergaya Timur-Tengah dengan kubah utama yang diapit tiga menara.
Di depan pintu gerbang terdapat tiga tiang yang mengibarkan bendera nasional China berwarna merah dengan gugusan lima bintang pada bagian sudutnya.
Beberapa meter dari masjid, sekelompok pemusik memainkan irama gambus dan rebana dengan nada rancak mengiringi para penari pria dan wanita di depan kerumunan para pengunjung.
Dalam hitungan menit, satu hingga dua orang pengunjung bazar turut menggoyangkan badan mengikuti gerakan gemulai tiga orang penari perempuan yang mengenakan baju tertutup lengkap dengan penutup kepala yang memperlihatkan sebagian rambutnya.
Para pedagang tak kalah atraktifnya menawarkan berbagai jenis cendera mata dan makanan khas seperti roti canai, kurma, dan daging-dagingan yang didominasi oleh kambing dengan bahasa lokal, Mandarin, bahkan Inggris karena Grand Bazaar juga dikunjungi oleh wisatawan asing.
Untuk menarik pembeli, beberapa pedagang sengaja memainkan alat musik tradisional mereka sambil bernyanyi dengan bahasa mereka sendiri. Siang itu Urumqi nampak tak berbeda dengan kota-kota wisata lain di seluruh penjuru dunia, kisah tentang "kamp konsentrasi", jejak bentrok berdarah dan penindasan seakan menguap di sepotong jalan tersebut.
Lorong pelapak berujung di tenda besar warna putih. Suasana di dalam tenda penuh sesak. Tidak satu pun meja dan kursi tersisa. Suasana di dalam tenda yang dilengkapi dengan pemanas itu makin hangat mana kala sekelompok seniman menyajikan musik gambus lengkap dengan para penarinya.
Beberapa saat kemudian pelayan datang membawa nampan tertutup. Begitu dibuka tudungnya, tampak seekor kambing muda meringkuk siap santap.
Mengejutkan memang karena sekilas bentuknya mengerikan karena kaki dan tubuh sampai leher dibiarkan utuh, tapi dagingnya sangat lezat dan empuk.
"Ini masakan khas kita," kata seorang pelayan sambil mempersilakan para wartawan asing memulai santap malam dengan seekor kambing muda seberat 12 kilogram yang sudah dimasak itu dengan harga 150 RMB (Rp315.000) per kilogram yang menggugah selera di atas meja saji itu. (Bersambung)
Baca juga: Geliat Islam di Xinjiang (Bagian 2)
Baca juga: Geliat Islam di Xinjiang (Bagian 3 - Habis)
Baca juga: Menyibak gelap lorong Kamp Vokasi Uighur Xinjiang (bagian 1)
Baca juga: Menyibak gelap lorong Kamp Vokasi Uighur Xinjiang (Bagian 2 - Habis)
Baca juga: Amnesti Internasional: Etnis Uighur diperlakukan diskriminatif
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019