Palembang (ANTARA News) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Sumatera Selatan minta semua pihak untuk bekerja sama dan bersinergi dalam melawan kampanye hitam negara-negara Uni Eropa terhadap produk ekspor utama Indonesia, minyak kelapa sawit (CPO).Tujuan dari kampanye ini tak lain agar produk sawit Indonesia ini tidak masuk ke negara mereka (negara di Eropa) karena mereka ingin menjual produk sendiri yakni biji matahari dan minyak kedelai. Jika ini berhasil, maka akan terjadi pengurangan serap
Ketua Gapki Sumsel Harry Hartanto di Palembang, Jumat, mengatakan, jika kampanye hitam itu terus menerus terjadi maka lambat laun dipastikan akan mempengaruhi harga di tingkat petani.
"Tujuan dari kampanye ini tak lain agar produk sawit Indonesia ini tidak masuk ke negara mereka (negara di Eropa) karena mereka ingin menjual produk sendiri yakni biji matahari dan minyak kedelai. Jika ini berhasil, maka akan terjadi pengurangan serapan di pasar internasional, dan ini bakal berdampak ke petani kita," kata Harry.
Data Kemendag menunjukkan bahwa Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO ke Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Sedangkan, Malaysia di tempat kedua dengan nilai ekspor mencapai 1,5 juta ton.
Menurut Harry, jika pengurangan serapan bakal terjadi maka dapat mengancam ketahanan ekonomi nasional karena perkebunan sawit Indonesia sebagian besar dimiliki rakyat . Selain itu ekspor minyak sawit ini terbukti telah memberikan sumbangan terbesar pada devisi negara. Oleh karena itu, Harry mengajak semua pihak untuk melawan kampanye hitam negara-negara Eropa yang dilakukan melalui Lembaga Sosial Masyarakat (NGO).
"Pemerintah harus mengambil langkah strategis terkait persoalan ini, tidak boleh diam saja karena kampanye hitam ini terus saja berlanjut. Padahal, ini murni perang dagang, tidak ada hubungannya dengan produk sawit karena berdasarkan penelitian justru minyak sawit juga baik untuk kesehatan," kata dia.
Harry menjelaskan potensi Indonesia dalam menghasilkan minyak nabati ini menjadi ancaman sendiri negara-negara di Eropa karena mampu menjadi penyuplai utama kebutuhan.
Eropa sendiri tidak bisa berbuat banyak karena perkebunan sawit jauh memiliki keungulan dibandingkan biji matahari dan kedelai. Dalam satu hektare perkebunan sawit bisa menghasilkan 8 ton minyak sawit per tahun, sementara untuk biji matahari hanya 0,3 ton per tahun.
Oleh karena itu, tak heran jika dimunculkan isu-isu berbau kampanye hitam seperti produk yang tidak aman untuk kesehatan, merusak lingkungan, hingga pengeksploitasian tenaga kerja anak-anak.
"Ini semua tidak benar, coba bayangkan jika menanam biji matahari, artinya lebih banyak lagi hutan yang mereka babat. Soal standarisasi, Indonesia juga sudah menerapkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah diakui secara internasional," ujar dia.
Indonesia memang sangat terusik dengan gencarnya kampanye hitam yang terus dilakukan, mengingat memiliki kepentingan terhadap komoditas itu mengingat setidaknya memberikan kontribusi nilai ekspor sebesar Rp240 triliun setiap tahun.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada tingkat diplomasi mengatakan Indonesia telah menggandeng Malaysia untuk melawan kampanye hitam ini.
Selain itu, Delegasi Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada November tahun lalu kembali minta Uni Eropa (UE) untuk menghentikan pelabelan produk "bebas minyak sawit" secara sukarela karena diskriminatif dan hanya menguntungkan salah satu pihak.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019