• Beranda
  • Berita
  • Tidak dinaikkannya cukai rokok sebabkan defisit BPJS Kesehatan

Tidak dinaikkannya cukai rokok sebabkan defisit BPJS Kesehatan

11 Januari 2019 19:16 WIB
Tidak dinaikkannya cukai rokok sebabkan defisit BPJS Kesehatan
Kebiasaan merokok menjadi salah satu sebab terbesar dari penyakit katastropik  yang terus meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun. (ANTARA /M Agung Rajasa)

Melambungnya penyakit tidak menular berkolerasi dengan gaya hidup seperti merokok

Jakarta  (ANTARA News) - Tidak dinaikkannya cukai rokok pada tahun 2018-2019 menjadi salah satu sebab defisitnya keuangan BPJS Kesehatan jika dirunut kaitannya mulai dari harga rokok yang murah hingga melonjaknya kasus penyakit tidak menular.

"Buntut dari melambungnya penyakit tidak menular adalah kinerja BPJS Kesehatan yang makin empot-empotan. Dan klimaksnya mengalami financial bleeding, yang pada 2018 mencapai Rp16,5 triliun," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi dalam konferensi pers tetang "Refleksi Pengendalian Tembakau 2018" di Jakarta, Jumat.

Tulus menyebut kenaikan cukai rokok sangat  minim yaitu sebesar 10,14 persen pada 2017 dan tidak dinaikkan sama sekali pada 2018 dan 2019. Dengan kondisi tersebut saat ini besaran tarif cukai rokok baru mencapai 38 persen dari harga ritel.

Padahal amanat UU tentang Cukai, cukai rokok bisa dinaikkan hingga 57 persen. Bahkan rata-rata internasional untuk cukai rokok berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO)  berada pada 75 persen dari harga ritel.

Rendahnya cukai rokok ini menyebabkan harga rokok di pasaran menjadi sangat murah, bahkan bisa dibeli secara satuan atau ketengan yang mudah dibeli oleh kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, dan kalangan rumah tangga miskin.

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi merokok pada usia 10 sampai 18 tahun, atau dalam kategori anak-anak, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. 

Tulus menyebut lebih dari 35 persen orang Indonesia adalah perokok dan 70 persennya merupakan perokok pasif, dan 70 persen perokok berasal dari kalangan keluarga miskin. 

Rokok memang bukan satu-satunya penyebab penyakit tidak menular, namun kebiasaan merokok menjadi salah satu sebab terbesar dari penyakit katastropik  yang terus meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan kenaikan pada prevalensi penyakit tidak menular seperti penyakit kanker dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen di 2018;  stroke dari 7 persen menjadi 10,9 persen; penyakit ginjal kronik dari 2 persen menjadi 3,8 persen; dan diabetes melitus dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.

Melambungnya prevalensi penyakit tidak menular ini berkolerasi dengan gaya hidup seperti merokok, minimnya aktivitas fisik, minim asupan buah dan sayur, serta konsumsi minuman beralkohol.

"Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular adalah bukti pemerintah tidak melakukan pengendalian konsumsi rokok, yang secara de facto merupakan pencetus utama meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular," kata Tulus.

Beban pembiayaan terbesar program Jaminan Kesehatan Nasional yang harus ditanggung BPJS Kesehatan berasal dari penyakit katastropik yang salah satunya disebabkan oleh konsumsi rokok.

Anggota Komnas Pengendalian Tembakau Jalal menolak mentah-mentah apabila ada seseorang yang mengatakan cukai rokok menyumbang pemasukan negara.

Menurut dia hasil cukai atau pajak denda yang didapat dari rokok masih lebih kecil jumlahnya dibandingkan nilai kerugian dari dampak negatif yang dihasilkan oleh rokok.

"Cukai itu denda dan nilainya sangat jauh dari kerusakan yang ditimbulkan. Sebanyak Rp149 triliun yang didapat dari cukai rokok,  tapi kerugian kesehatan akibat rokok sebesar Rp596 triliun," kata Jalal.  

Baca juga: YLKI: cukai rokok tidak naik tahun 2018-2019 suatu kemunduran
Baca juga: FAKTA: rokok harus dibuat mahal




 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019