Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Safrudin, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, mengatakan selama 2016-2018 parameter pencemar udara untuk PM 2,5 di Jakpus dan Jaksel selalu menunjukkan angka di atas Baku Mutu Udara Daerah (BMUAD) Jakarta.
“Standar tahunan nasional dan WHO masing-masing adalah 15 ug/m3 dan 10 ug/m3. Namun, konsentrasi PM tahunan 42,2 ug/m3 dan 37,5 ug/m3,” kata dia.
Parameter pencemar lain seperti Ozone juga mengkhawatirkan. Standar nasional dan Jakarta adalah masing-masing, 50 ug/m3 dan 30 ug/m3.
Namun dalam tujuh tahun terakhir, 2011-2018, di sejumlah wilayah seperti Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk, angkanya di atas itu.
Pendiri Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jalal, menekankan sudah selayaknya pemerintah memperbaiki kebijakan pengendalian udara, baik di pusat maupun daerah.
“Perbaikan kebijakan ini harus mencakup seluruh aspek sumber pencemar, baik sumber bergerak seperti kendaraan maupun sumber tidak bergerak,” kata dia.
Menurut Ahli Pencemaran Udara dan Lingkungan ITB, Driejana, ada sejumlah hal yang bisa mendorong percepatan pemulihan kualitas udara. Misalnya perbaikan dari segi data pendukung kebijakan, perbaikan dari segi pengendalian dan reduksi emisi, lalu meningkatkan peran Pemda dan tentunya pemerintah pusat.
“Sebenarnya DKI telah lebih progresif terhadap penyediaan data pencemaran udara dengan menjadi daerah yang memiliki data pencemaran udara terlengkap. Namun, memang pemanfaatan data untuk pengembangan kebijakan masih perlu ditingkatkan,” jelasnya.
Ia mengharapkan penyediaan data pencemaran udara ini, bisa diikuti wilayah lain yang memiliki risiko pencemaran udara di Indonesia.*
Baca juga: WHO: Pencemaran udara bunuh 600.000 anak-anak tiap tahun
Baca juga: BMKG: Indonesia tidak masuk rilis polusi udara WHO
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019