• Beranda
  • Berita
  • Ekonom Indef soroti keganjilan dibalik meningkatnya impor gula

Ekonom Indef soroti keganjilan dibalik meningkatnya impor gula

14 Januari 2019 20:21 WIB
Ekonom Indef soroti keganjilan dibalik meningkatnya impor gula
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri saat memberikan paparan pada awak media terkait impor gula di Jakarta, Senin (14/1/2019). (ANTARA News/Citro Atmoko)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 (Januari-November), impor gula telah mencapai 4,6 juta ton, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu 4,48 juta ton

Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti keganjilan di balik impor gula yang jumlahnya terus meroket hingga Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia.

"Peningkatan impor lebih cepat dari peningkatan kebutuhan, kan aneh. Impor kan untuk menutup selisih antara produksi dan konsumsi. Karena konsumsinya lebih tinggi, lantas ditutup," kata ekonom senior Indef Faisal Basri saat jumpa pers di Jakarta, Senin.

Impor gula Indonesia saat ini melampaui China dan Amerika Serikat. Berdasarkan data Statista, impor gula Indonesia mencapai 4,45 juta ton untuk periode 2017/2018, lebih tinggi dibandingkan China  4,2 juta ton dan AS 3,11 juta ton. Faisal pun mengaku terkejut mengetahui fakta tersebut.

"Pertama kali saya kaget melihat data statistik, Indonesia sudah jadi importir terbesar gula di dunia. Sebelum-sebelumnya kan gak terbesar. Sekarang kita sudah lampaui AS dan China, biasanya kan kita nomor tiga atau empat," ujar Faisal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 (Januari-November), impor gula telah mencapai 4,6 juta ton, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu 4,48 juta ton. 

Pada 2018, Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton. Kementerian Perdagangan memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton. Kuota ini dibagi dalam dua semester, semester satu dan semester dua sebesar 1,87 juta ton.

Namun, realisasi yang terjadi pada semester I-2018 hanya sebesar 1,56 juta ton. Ini menggambarkan bahwa industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan di awal tahun. Hal ini mendorong Kemendag untuk merevisi kuota dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.

Pada semester II-2018, kuota impor justru melejit hingga realisasi 2018 pada akhir tahun tercatat 3,37 juta ton. Meskipun masih memenuhi kuota impor di awal sebesar 3,6 juta ton, akan tetapi meleset darai target kuota tengah tahun 3,15 juta ton. Realisasi impor ini masih di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton di 2018. Ini membuktikan bahwa gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi.

"Ironisnya juga, pertumbuhan industri makanan dan minuman kita justru melambat. Pada triwulan III-2017 bisa tumbuh 8,9 persen, triwulan III-2018 hanya 8,1 persen. Dengan adanya impor gula rafinasi untuk industri makan dan minuman, harusnya bisa mendorong industri makanan dan minuman tumbuh lebih tinggi lagi," kata ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus.

Rata-rata harga gula mentah dunia di 2018 sendiri sebesar 0,28 dolar AS atau sekitar Rp4.000, lebih murah jika dibandingkan dengan harga domestik. Harga Pokok Pembelian (HPP) gula mentah sendiri Rp9.700 per September 2018. Dengan perbedaan harga gula tinggi, maka upaya stabilisasi harga tentu akan mahal jika menggunakan gula petani. Upaya 'potong kompas' kebijakan stabilisasi ini membuat gula petani susah terserap. Dengan demikian, jika masyarakat sebagai konsumen harus membayar lebih mahal, sementara petani gula juga tidak menikmati 'manisnya' harga, Indef pun mempertanyakan siapa penikmat rente gula ini.

Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp12.500 diharapkan dapat melindungi konsumen. Namun selama 2017-2018, harga rata-rata gula lokal sesuai atau di bawah HET baru terjadi di 28 Juni 2018. Rentang antara HPP (petani) dan HET (konsumen) yang besar, memberikan gambaran bahwa surplus produsen yang diterima sangat besar.

"Jadi kalau disparitas harga terlalu jauh, justru 'manis'-nya disini, tapi pahit bagi ekonomi nasional," ujar Ahmad. 

Gula merupakan salah satu komoditas pangan strategis, tapi sayangnya kebutuhan gula untuk industri sebagian besar masih harus dipenuhi dari impor.

Menurut Indef, dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, pemerintah membedakan antara Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri dan Gula Kristal Putih (GKP) untuk dikonsumsi masyarakat.

Sedianya impor gula hanya untuk pemenuhan GKR, namun dalam perkembangannya GKR juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga konsumen. Akibatnya, sekarang Indonesia menduduki importir gula terbesar di dunia.

Distorsi harga yang lebar antara rendahnya harga gula internasional dengan mahalnya harga gula di domestik, membuat Indonesia menjadi importir gula selama bertahun-tahun sehingga mendorong suburnya perburuan rente gula.

Bahkan dalam tahap yang lebih jauh, distorsi harga tersebut turut andil dalam menjegal gagalnya Indonesia membangun sektor pergulaan. Padahal dulu sebelum merdeka, sekitar tahun 1930-an, Indonesia adalah negara pengekspor gula terbesar di dunia.

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019