(ANTARA News) - Kepopuleran budaya Korea di dunia tampaknya sudah tidak bisa diragukan lagi. Bukan hanya yang bersifat seni pop, drama atau fashion, namun juga kulinernya, dari jajanan pinggir jalan hingga restoran mewah, hampir semuanya terkenal enak."Saya tidak tahu kapan, tapi mari berharap pada perdamaian."
Ketika Antara berkesempatan mengunjungi ibu kota Korea Selatan, Seoul, sebagai salah satu peserta program liputan dari Meridian International Center pada akhir November 2018 lalu, musim dingin baru saja tiba. Pemandu program di Seoul, Sophia Park, pun mengusulkan budaejjigae (baca: budejige) untuk menghangatkan badan para peserta yang sebagian besar berasal dari kawasan tropis Asia Tenggara.
Kepopuleran budejige saat musim dingin di Korea mungkin bisa ditandingi bakso hangat saat musim hujan di Indonesia. Terbukti, di kawasan ramai Myeongdong, Seoul, berjajar aneka restoran bujigae yang dipenuhi pelanggan.
Begitu memasuki salah satu restoran itu, kepulan asap dari sepanci kuah budejige mulai menghangatkan tubuh para jurnalis, yang sebelumnya sempat membeku di suhu udara -2 derajat Celcius di pegunungan Paju, Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan Korea Selatan dan Korea Utara, pada 30 November 2018.
Sepanci besar aneka isi sup yang dipilih sesuka hati, mulai dari isi dasar sup, yakni daging sapi, daging babi, atau makanan laut, lalu menu tambahan aneka sayuran, mie ramen, sohun, udon, tteoppokki (baca: topokki) si kue beras, hingga keju leleh, bisa dimasukkan ke dalam budejige.
Budejige yang secara harfiah berarti army stew atau dalam Bahasa Indonesia dipadankan sebagai "makanan tentara" itu, kata Sophia, konon mulai populer saat perang saudara berakhir pada 1953 dan rakyat Korea Selatan kesulitan pangan sehingga memasukkan apa saja sebagai rebusan. Makanan ini populer hingga kini, saat para pemuda Korea Selatan menjalani wajib militer.
Bahkan, asal-muasal keju menjadi salah satu isian favorit budejige karena tentara Amerika Serikat yang ditempatkan bersama sekutu lainnya di Korea Selatan pascaperang, kangen citarasa kampung halaman sehingga menambahkan aneka keju ke dalam panci sup yang dinikmati bersama dengan rekan Korea Selatan mereka.
Di masa kini, bagi pengunjung Muslim bisa memilih isi sup dasar makanan laut, dan tidak perlu khawatir karena ada kuah sup yang berbahan dasar susu kedelai.
Selanjutnya, tunggu hingga kuah berbuih, daging atau aneka seafood berubah matang dan sepanci budejige pun bisa dinikmati dua hingga empat orang sekaligus.
Selayaknya makan malam yang hangat, pembicaraan pun kemudian mengalir menemani di seputar meja budejige.
Beberapa peserta program yang didanai Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat itu sedikit mengeluhkan cuaca, maklum saja, mereka termasuk Antara, adalah penduduk tropis yang terbiasa dengan suhu tinggi. Sementara saat itu, suhu rata-rata di Kota Seoul antara 3 derajat hingga -1 derajat Celcius.
Pemandu peserta selama di Korea Selatan, Sophia Park (29), mengatakan itu belum seberapa karena normalnya, suhu bisa mencapai -7 derajat Celcius ketika salju turun.
Mungkin karena penasaran atau masih terbawa euforia setelah mengunjungi DMZ, wilayah yang menunjukkan bahwa perang belum berakhir di Korea sejak gencatan senjata ditandatangani pada 1953, muncul pertanyaan kepada Sophia tentang bagaimana rasanya hidup bersisian dengan saudara yang kerap melakukan provokasi uji coba senjata nuklir.
Tanpa tedeng aling-aling, Sophia mengaku rasanya seperti tinggal berdekatan dengan "ancaman" akan perang yang menjadi kekhawatiran sehari-hari.
Seoul, ibu kota Korea Selatan itu hanya berjarak 49,5 km atau sekitar dua jam berkendara mobil ke Panmunjom, garis perbatasan dengan Korea Utara, sehingga masyarakat dengan ekonomi terbesar ke-11 di dunia itu dipaksa untuk menjalani kehidupan sehari-hari di bawah bayang-bayang ancaman uji coba nuklir dari Utara.
Meskipun ada kekhawatiran akan dampak senjata nuklir Korea Utara, Sophia mengatakan dia dan sebagian besar anak muda Korea Selatan lainnya, merasa yakin perang tidak akan terjadi.
"Bagaimana pun kami telah hidup berdampingan selama hampir lebih dari 60 tahun, dan tidak terjadi apa-apa, meskipun selalu dibayangi berbagai aksi saling balas provokasi," kata dia.
Jawaban Sophia mungkin dapat dimengerti karena ia tidak berasal dari generasi lebih tua yang merasakan perang berdarah antardua Korea pada '50-an, yang mungkin juga tidak kehilangan kerabat yang terpaksa berpisah karena perbedaan ideologi.
Lain halnya dengan cerita Lee Young-jun, juru mudi tur selama di Korea yang lebih suka dipanggil dengan nama Baratnya, John. Adik dari kakek pria berusia 39 tahun itu dulu tinggal di Korea Utara.
Silsilah keluarga John memang berasal dari wilayah Korea Utara. Saat Perang Dunia II berakhir dan Jepang angkat kaki dari Korea, Pasukan Sekutu bertahan di selatan, sementara pasukan Uni Soviet di utara. Bantuan pasukan dari dua kubu itu pun meninggalkan jejak perbedaan ideologi yang kemudian melatarbelakangi meletusnya perang saudara selama tiga tahun (1950-1953).
Di masa perang itu, kakek John memilih untuk melintas ke wilayah selatan dan terus tinggal di Korea Selatan hingga saat ini.
John yang lahir sebagai generasi ketiga dari perpisahan Korea Selatan dan Utara sempat mengetahui bagaimana kerinduan kakeknya pada adiknya yang tinggal di Korea Utara. John juga menceritakan bahwa keluarganya mengirim uang secara rutin melalui China bagi kakeknya di Korea Utara.
Kakek John juga menjadi salah satu peserta reuni keluarga yang difasilitasi Palang Merah Internasional pada 2015 di wilayah Pegunungan Kumgang.
"Saya ingat betapa bahagianya kakek saat akan berangkat ke Kumgang," kata dia.
Reuni itu menjadi pertemuan terakhir bagi kedua kakek John karena tak lama setelah itu keluarga di Seoul mendapat kabar bahwa kakek di Korea Utara meninggal dunia.
"Setelah itu kami pun berhenti mengirim uang ke Utara, yang sebelumnya memang sudah sangat sulit dilakukan. Apalagi sekarang kakek sudah meninggal," kata dia.
Terkait perkembangan hubungan antar-Korea dan Korea Utara-Amerika Serikat dalam setahun terakhir, John mengatakan dia sangat berterima kasih pada upaya yang dilakukan semua pihak untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea.
Sepanjang 2018 lalu, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah tiga kali melakukan pertemuan, ditambah satu pertemuan bersejarah antara Presiden Amerika Serikat--sekutu Korea Selatan--Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura.
Rangkaian pertemuan itu dianggap berhasil meredakan ketegangan yang sangat meningkat, ketika pada 2017, Kim Jong-un meluncurkan 23 rudal dalam 16 kali uji coba senjata nuklir.
Bagi John, kehadiran Pemimpin Kim dalam semua pertemuan itu menunjukkan iktikad baik untuk perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea, meskipun tentunya perlu diikuti langkah konkret dengan menghentikan uji coba senjata nuklirnya.
"Kami hanya ingin merasa damai karena saat ini memang aman, tetapi di sisi lain rasanya seperti ada bahaya yang mengintai," kata dia.
Sementara itu, Sophia yang berasal dari generasi yang lebih muda dari John, mengatakan hal terpenting adalah perlucutan senjata nuklir Korea Utara karena itu menjadi kunci bagi terwujudnya perdamaian.
Alumnus salah satu program Meridian International Center di Washington DC itu menambahkan, perdamaian akan sulit diwujudkan jika Kim bersikeras mempertahankan uji coba nuklir Korea Utara. Karena itu, Sophia berharap akan ada negosiasi yang menghasilkan pada pertemuan tingkat tinggi yang kedua antara Trump dan Kim.
"Saya tidak tahu kapan, tapi mari berharap pada perdamaian," kata dia.
Cerita-cerita lain tentang Korea Selatan, Utara, dan juga beberapa negara asal para peserta program Meridian 2018 pun terus mengalir di seputar meja budejige, termasuk janji untuk dapat bertemu lagi jika berkesempatan meliput pertemuan kedua Trump dan Kim yang entah kapan dan di mana.
Tanpa terasa tiga panci budejige dengan segala macam isiannya, serta berbagai lauk sampingan (banchan), pun habis dinikmati bersama di malam terakhir program kunjungan jurnalis dari Asia-Pasifik di Seoul, Korea Selatan.
Baca juga: Jalan panjang menuju perdamaian Semenanjung Korea
Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2019