Untuk itu sejumlah data survei indeks terkait dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, korupsi dan terorisme patut menjadi acuan.
Berikut adalah salah satu data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang berdasarkan penelitian Transparasi Internasional Indonesia berdasarkan penelitian pada 2017.
IPK merupakan indeks komposit/gabungan yang mengukur persepsi publik terhadap korupsi di negara-negara di dunia. Sejak diluncurkan pada 1995 IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi periodik tahun per tahun.
Pemerintah Indonesia menggunakan IPK sebagai salah satu ukuran indikator keberhasilan dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini pemerintah Indonesia menargetkan skor IPK pada 2019 mencapai angka 50.
Namun jika diamati skor IPK Indonesia lima tahun terakhir belum bergerak naik secara signifikan. Berawal dengan skor 32 pada tahun 2013 dan terakhir 37 pada tahun 2016.
IPK Indonesia pada 2017 yang dirilis Transparency International (TI) pada 2017 sama seperti tahun 2016 di angka 37 dari skala 0-100. Di mana skor 0 mengindikasikan paling korup sementa Saat pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla pertama memerintah pada 2014, IPK Indonesia berada di angka 34 yang menunjukkan pencapaian kinerja pemberantasan korupsi pada 2013 yang masih di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Selanjutnya pada 2015 IPK Indonesia ada pada angka 36 yang mencerminkan kinerja pemberantasan korupsi tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.
IPK 2017 juga merefleksikan pandangan pelaku usaha dari kota-kota tersurvei. Indeks dibentuk dari hubungan perusahaan (pelaku usaha) dan pemerintah daerah dalam melakukan proses bisnis.
Dengan demikian, IPK merepresentasikan pemahaman masyarakat tentang tingkat korupsi dan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi di daerahnya.
Pada 2017, survei dilaksanakan di 12 Kota di Indonesia dengan total responden 1200. Survei menghasilkan Indeks Persepsi Korupsi yang menggambarkan tingkat korupsi pada level kota berdasarkan persepsi pelaku usaha.
Mengukur intensitas korupsi dan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh institusi publik kepada para pelaku usaha melalui Indeks Pelayanan/Service Performance Index (SPI).
Survei Persepsi Korupsi 2017 dilakukan di 12 kota di Indonesia. Dua belas kota tersebut adalah Kota Pekanbaru (1), Kota Semarang (2), Kota Banjarmasin (3), Kota Pontianak (4), Kota Makassar (5), Kota Manado (6), Kota Medan (7), Kota Padang (8),Kota Bandung (9), Kota Surabaya (10), Kota Jakarta Utara (11), dan Kota Balikpapan (12).
Berdasarkan perhitungan IPK 2017, dapat dilihat bahwa di antara 12 kota yang disurvei, Jakarta Utara memiliki IPK yang paling tinggi dengan nilai 73,9 poin.
Hal ini bisa disimpulkan bahwa pelaku usaha di Jakarta Utara menilai komitmen pemerintah daerah dalam memberantas korupsi sangat baik. Sedangkan IPK terendah dari kota Medan dengan nilai 37,4 poin, dimana para pelaku usaha menilai masih banyak terjadi korupsi.
Rerata Indeks Persepsi Korupsi tahun 2017 ini berada pada poin 60,8. Pada rentang 0–100, rerata 60,8 menandakan berada tipis di atas rata-rata. Adanya tren positif dari skor IPK 2017 untuk Kota Jakarta Utara dengan skor tertinggi 73,9 menunjukkan adanya pergeseran persepsi pelaku usaha dalam menilai layanan publik terkait. Di sisi lain, IPK 2017 menunjukkan adanya beberapa kota yang masih perlu usaha keras untuk memberantas korupsi.
Kota dengan persentase suap tertinggi adalah Bandung sebesar 10,8 persen dari total biaya produksi. Sementara itu, kota dengan persentase biaya suap terendah adalah Makassar sebesar 1,8 persen dari total biaya produksi.
Sektor lapangan usaha yang dinilai paling tinggi potensi suapnya adalah air minum, perbankan dan kelistrikan. Instansi paling terdampak korupsi adalah legislatif, peradilan, dan kepolisian.
Sektor paling terdampak korupsi adalah perizinan, pengadaan, dan penerbitan kuota perdagangan. Lembaga Antikorupsi dipercaya memiliki peran yang sangat signifikan dalam mencegah dan memberantas korupsi. Sedangkan Partai Politik dianggap mempunyai kemampuan, peran dan tata kelola pencegahan dan pemberantasan korupsi yang rendah.
Salah satu temuan yang juga perlu untuk dikemukakan adalah terkait masih banyaknya pelaku usaha yang menganggap korupsi bukanlah hal yang penting. Hal ini membuktikan bahwa korupsi masih dianggapsebagai bentuk permisivitas bagi sebagian kalangan pelaku usaha.
Dalam IPK 2017 ini bisa dijelaskan bahwa hampir 2 dari 10 pelaku usaha pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan karena pesaing memberikan suap. Hal ini tentunya menjadi peringatan bagi semua pihak untuk berusaha lebih keras lagi dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Terkait dengan sektor publik terdampak korupsi, persepsi publik tentang lembaga publik terkorup belum menunjukkan perubahan signifikan. Kementerian yang strategis, dinas-dinas yang berada di kota-kota, kepolisian, dan peradilan masih dipersepsikan korup oleh responden.
Hal ini diperkuat dengan probabilitas penyuapan terhadap instansi tersebut masih tinggi dalam satu tahun terakhir.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019