"Jadi hoaks itu teror," kata Ahmad di acara Diskusi dan Bedah Buku "Prahara Suriah: Hoax, Media Sosial dan Perpecahan Bangsa" di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat.
Alasannya, kata dia, hoaks memenuhi kriteria terorisme sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018, yaitu menimbulkan ketakutan.
Hanya saja, lanjut dia, kasus penyebaran hoaks tidak ditangani oleh Densus 88 karena sudah ada regulasi lain yang akan menjerat pelaku soal diseminasi kabar bohong.
"Pelakunya teroris tapi ditangani dengan UU yang ada," katanya merujuk adanya UU ITE.
Terorisme, kata dia, juga berlaku bagi gerakan separatis oleh Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Hanya saja bentuk terorisme itu adalah tindakan pemberontakan yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia sehingga pelakunya dijerat hukuman karena melakukan separatisme.
"Kok Islam terus yang ditangkap karena terorisme? OPM bagaimana? Itu teroris juga yang sifatnya separatis, ada undang-undangnya sendiri. Kami Densus 88 menangani teroris yang ingin mengubah ideologi atau konstitusi Indonesia yang sah, Pancasila dan UUD 1945," katanya.
Dia mengatakan terdapat juga bentuk terorisme lain, yaitu serangan informasi propaganda untuk kepentingan politik, ideologi dan gangguan keamanan.
Media yang digunakan untuk propaganda, kata dia, menimbulkan suasana takut di tengah masyarakat.
"Yang dirusak psikologi, otak manusia, sehingga muncul istilah cebong dan kampret itu, karena sudah dirusak. Ini berperan dalam munculnya konflik. Konflik sengaja diciptakan atau diperbesar," katanya.
Baca juga: Polri sebut penyebaran hoaks dimulai dari grup "WhatsApp"
Baca juga: Kominfo catat hoaks paling banyak serang pemerintah
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019