Dwikorita mengatakan di kantor Kemenko PMK Jakarta, Selasa, teknologi deteksi dini melalui sensor bawah laut ini dapat mengetahui kejadian tsunami yang disebabkan baik oleh gempa tektonik, longsoran bawah laut, maupun longosran gunung berapi seperti yang terjadi pada Gunung Anak Krakatau.
"Mulai 2018, BPPT bersama BMKG sedang menyiapkan sensor bawah laut. Saat ini yang sedang uji coba itu baru Amerika dan Jepang, negara lain belum ada, Indonesia akan melakukan juga upaya itu," kata Dwikorita.
Pengembangan teknologi sensor bawah laut tersebut saat ini masih dalam tahap usulan, dan paling tidak membutuhkan waktu satu tahun untuk perancangan dan satu tahun untuk uji coba.
"Jadi paling tidak perlu dua tahun, Amerika sudah berapa tahun juga belum, jadi ini suatu tantangan," kata dia.
Dwikorita menjelaskan sistem deteksi dini tsunami yang ada di Indonesia saat ini dirancang sejak 10 tahun lalu usai bencana tsunami Aceh tahun 2006 silam yang disebabkan oleh gempa tektonik.
Oleh karena itu sistem deteksi tsunami yang ada sekarang hanya bisa mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh gempa tektonik, belum bisa mendeteksi tsunami akibat longsoran bawah laut atau longsoran gunung api.
Dwikorita menerangkan saat ini fenomena alam sudah berubah dan menunjukkan anomali. Sistem deteksi dini tsunami Indonesia saat ini sama seperti yang ada di Jepang dengan memberi peringatan akan terjadi tsunami dalam waktu tiga menit.
Namun, gelombang tsunami yang terjadi di Palu tahun 2018 mencapai pantai hanya dalam kurun waktu dua menit. Teknologi sistem deteksi dengan sensor bawah laut diharapkan bisa mengatasi permasalahan tersebut dengan informasi yang diberikan secara langsung.
Sistem deteksi dini melalui sensor bawah laut bekerja mengukur perubahan tekanan hidrostatis laut secara seketika, sehingga informasi akan terjadinya tsunami bisa dikirimkan langsung ke pusat kontrol untuk disebarluaskan pada masyarakat.
"Namun tekonologi bukan jaminan, karena sistem peringatan dini yang sangat penting adalah sistem kultural bagaimana kesiapan masyarakat dengan edukasi dan budayanya," kata dia.
Selama menunggu pengembangan teknologi peringatan dini tsunami, Dwikorita mengatakan sebaiknya diisi dengan edukasi dan sosialisasi kewaspadaan terhadap tsunami, membangun budaya untuk tidak mendirikan rumah sangat dekat dengan jarak pantai, serta penanaman vegetasi penahan tsunami untuk mengurangi laju gelombang guna meminimalkan daya rusak.
"Karena kita tidak bisa mengandalkan 100 persen pada teknologi, alam itu selalu lebih unggul dari teknologi sehingga manusia harus beradaptasi dengan alam," kata Dwikorita.*
Baca juga: BMKG butuh satelit komunikasi monitoring khusus kebencanaan
Baca juga: Menhub inginkan alat deteksi dini bencana yang lebih canggih
Baca juga: Penguat sinyal peringatan tsunami Pesisir Selatan hilang
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019