"Stunting itu karena lingkungan, bukan genetik. Bisa cara makan atau lainnya. Yang diturunkan cara makannya. Kalau faktor lingkungan diperbaiki bisa membaik," ujar dokter spesialis anak, nutrisi dan penyakit metabolik dari RSCM, Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) di Jakarta, Rabu.
Hanya saja, jika seorang anak sudah mengalami stunting, perbaikan nutrisi tak akan bisa memperbaiki IQ-nya seperti anak normal.
"Kalau membaik tetap tidak bisa sama seperti seharusnya. Kalau sudah di atas dua tahun, IQ akan selalu di bawah anak normal," tutur dia.
Penelitian dalam jurnal Nutritional Neuroscience pada 2014 menunjukkan, anak stunting angka mortalitasnya empat kali lebih tinggi dan IQ bisa turun 11 persen.
Selain itu, dia akan mengalami sejumlah masalah kesehatan seperti penurunan fungsi kekebalan tubuh, gangguan sistem pembakaran lemak dalam jangka pendek.
Dalam jangka panjang, anak akan mengami obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi dan osteoporosis.
Baca juga: Deteksi stunting, amati berat badan anak
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen, masih jauh di atas ambang yang ditetapkan WHO yakni 20 persen.
Damayanti mengatakan pemenuhan gizi yang lengkap pada dua tahun pertama masa kehidupan memiliki peran yang krusial. Setelah pemberian ASI eksklusif pada tahun pertama kehidupannya, anak membutuhkan makanan pendamping dengan kandungan karbohidrat, lemak dan protein.
"Faktanya di Indonesia, konsumsi asupan protein hewani masih tergolong rendah, sehingga banyak kasus stunting terjadi. Padahal, investasi protein hewani sangatlah penting, mengingat kandungan asam amino esensial terlengkap di dalamnya," papar dia.
Asam amino esensial dapat membantu pertumbuhan dan kecerdasan otak anak. Sumbernya bisa berasal dari susu, telur, unggas, ikan dan daging.
Baca juga: Perlu intervensi gizi cegah gagal tumbuh menjadi kerdil
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019