Flu unta bukan flu biasa

24 Januari 2019 15:32 WIB
Flu unta bukan flu biasa
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Eka Jusup Singka (kiri) di Nusa Dua, Bali, Rabu (7/11/2018) mengatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang berisiko terancam penyakit MERS-CoV yang ditularkan dari unta yang menjadi ancaman kesehatan global karena mengirimkan jamaah haji dalam jumlah besar setiap tahunnya. (Foto: ANTARA News/Desi Purnamawati)
Oleh dr Dito Anurogo MSc *)

Flu unta yang dalam medis dikenal sebagai MERS (Middle East respiratory syndrome), telah merebak di 27 negara, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Data WHO sejak September 2012 hingga 23 Juni 2016 menyebutkan bahwa ada 1.792 kasus infeksi MERS terkonfirmasi laboratorium di 27 negara, sedangkan 640 orang meninggal dunia akibat penyakit itu.

Di Indonesia, kasus suspek MERS pernah dijumpai di Surabaya tahun 2015. Penyakit ini berpotensi mewabah ke semua wilayah bila tidak diantisipasi sejak dini.

Orang yang terjangkit flu unta bisa tanpa gejala karena dikira sebagai flu biasa. Umumnya, flu unta ini menyerang jamaah haji saat menjalani ibadah di Tanah Suci. Serangan penyakit itu, harus diwaspadai sebab sudah sekitar 36 persen penderita yang meninggal dunia.

MERS menyebabkan gejala mirip SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Hal ini mungkin karena penyebab keduanya adalah virus yang berkerabat dekat, yakni Coronavirus.

Coronavirus (CoV) merupakan kelompok virus yang menyebabkan penyakit ringan hingga berat pada manusia.

Kelompok CoV terdiri atas subgrup alpha, beta, gamma, dan delta. Enam coronavirus manusia (HCoVs) dipastikan merupakan penyebab penyakit pada manusia, yakni HCoV-229E, HCoV-OC43, HCoV-NL63, HCoV-HKU1, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV), termasuk Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV).

Sebagian besar dari keenam virus tersebut menyebabkan infeksi saluran pernapasan ringan, ditandai dengan penyakit saluran pernapasan atas, termasuk batuk, sakit tenggorokan, dan coryza (pilek). Virus-virus ini hanya terkadang menyebabkan penyakit saluran pernapasan bagian bawah, termasuk bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.

Kasus MERS pertama kali diidentifikasi di Kerajaan Arab Saudi pada September 2012, sedangkan kasus SARS awalnya muncul pada tahun 2003 di China. Hingga 24 April 2015, terdeteksi 1.100 (439 orang meninggal dunia) kasus MERS, sedangkan kasus SARS mencapai 8.100 (774 orang meninggal dunia).

MERS-CoV adalah penyebab MERS. Virus ini berselubung, beruntai tunggal RNA, tergolong genus Betacoronavirus, subfamili Coronavirinae. Genome lengkap MERS-CoV pada unta 99,9 persen homologi dengan MERS-CoV clade B pada manusia.

Hal ini berarti virus MERS-CoV unta amat mirip dengan virus MERS-CoV yang menyerang manusia. Sekuens genetik menunjukkan kaitan erat antara virus-virus manusia dan unta, juga mengungkap bahwa unta adalah sumber infeksi pada manusia.

Studi genomik dan epidemiologis menunjukkan transmisi zoonotik menuju manusia dari unta dan mungkin kelelawar.

Uniknya, meskipun virus penyebab MERS ditemukan di unta, bukan berarti kontak langsung dengan unta menyebabkan MERS. Masih perlu pembuktian dan riset lebih lanjut.



Periode Inkubasi

Penderita MERS bisa tanpa gejala mengingat periode inkubasi untuk transmisi dari manusia ke manusia perlu lima hari (kisaran 2-15 hari).

Gejalanya mirip influenza, seperti demam, batuk kering, badan tidak nyaman, nyeri otot, sakit tenggorokan, pusing, mual, muntah, hidung beringus, bersin-bersin, nyeri perut, dan diare.

Keluhan tersering lainnya, sesak napas. Sebanyak 70 persen berlanjut pneumonia (radang paru-paru) yang mengakibatkan dirawat di ICU.

Penderita MERS berusia lebih dari 65 tahun, perlu diwaspadai infeksi penyerta dan hipoalbuminemia (kandungan albumin di dalam darah menurun), sebagai prediktor infeksi berat.

Kegagalan organ di luar paru-paru, seperti kolaps sirkulasi, ketidaknormalan fungsi hati, gagal ginjal akut, kelainan darah, umum dijumpai pada stadium lanjut.

Untuk membedakan flu unta (MERS) dan SARS diperlukan kewaspadaan ekstra dari tim medis. Umumnya dokter akan membedakan dari presentasi (tanda-gejala) klinis yang dijumpai pada penderita, usia, dan studi epidemiologi.

Masa inkubasi flu unta 5-14 hari, sedangkan SARS sekitar 4,6 hari. Waktu rata-rata onset gejala penderita flu unta hingga dirawat inap di rumah sakit sekitar 3-4 hari. Waktu rata-rata dari masuk ICU hingga kematian berkisar 5-11,5 hari. Studi epidemiologi flu unta menunjukkan terdapat dominasi laki-laki yang berbeda dengan SARS.

Terdapat banyak tumpang-tindih dalam presentasi klinis infeksi SARS dan flu unta. Gejala-gejala yang muncul umumnya, berupa demam, batuk, sesak napas, menggigil, kaku, sakit kepala, mialgia, dan malaise.

Gejala awal berupa diare dan muntah yang tidak biasa (atipikal) dialami oleh pasien flu unta dan SARS. Kasus awal infeksi flu unta menunjukkan temuan yang relatif berbeda dari SARS.

Pada pasien SARS, biasanya sudah disertai penyakit kronis berupa diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit jantung.

Kasus SARS terutama dialami individu berusia muda dan sehat. Hal ini berbeda dengan kasus flu unta, di mana setengah kasus MERS terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun.

Rata-rata mortalitas (angka kematian) kasus-kasus awal flu unta mencapai 70 persen dari kasus yang parah, lalu rerata kasus fatalitas jauh lebih rendah.

Dokter ahli dan telah berpengalaman dapat menemukan persamaan pada penderita flu unta dan SARS. Pasien flu unta dan SARS biasanya menderita limfopenia dan waktu protrombin teraktivasi meningkat.

Pada pasien flu unta dan SARS juga dijumpai dominasi infiltrat paru-paru di zona perifer dan rendah, lalu perkembangan progresif infiltrat paru bilateral atau multifokal menunjukkan perkembangan yang lebih cepat pada kasus infeksi flu unta daripada infeksi SARS.

Untuk pasien dalam proses investigasi/pengawasan, CDC (Centers for Disease Control and Prevention-Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat) sangat merekomendasikan pengujian spesimen saluran pernapasan (berupa dahak, cairan lavage broncheoalveolar, atau aspirasi trakea), swab atau apusan nasofaring/orofaringeal, dan serum, melalui asai CDC MERS-CoV rRT-PCR (uji Real-Time Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction untuk deteksi coronavirus pada flu unta yang direkomendasikan oleh CDC).

Jika onset gejala lebih dari 14 hari sebelumnya, CDC juga sangat merekomendasikan pengujian tambahan spesimen serum melalui uji serologis CDC MERS-CoV.

FDA (Food and Drug Administration, Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat) mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) pada 5 Juni 2013, untuk meresmikan penggunaan asai real-time Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR) oleh CDC tahun 2012 untuk menguji coronavirus flu unta (MERS-CoV) melalui spesimen saluran pernapasan, serum, dan tinja.



Belum ada

Hingga kini belum ada solusi efektif untuk menanggulangi MERS. Tatalaksana suportif terus dilakukan, mencakup ventilasi mekanik, penggantian ginjal bila diperlukan.

Beberapa obat, seperti klorokuin, klorpromazin, loperamid, lopinavir, siklosporin, dan asam mikofenolat diduga efektif secara in vitro melawan MERS.

Untuk mencegah MERS, pemerintah bersama instansi terkait bersinergi melakukan pelbagai upaya preventif, seperti menunjuk RS tertentu sebagai pusat rujukan MERS di tingkat regional hingga nasional yang berjenjang dan memudahkan birokrasinya.

Selain itu, membentuk pokja (kelompok kerja), satgas (satuan tugas) khusus menangani terduga MERS, memberikan pelatihan-simulasi penatalaksanaan MERS berstandar internasional kepada RS tertentu, memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang upaya pencegahan MERS.

Diseminasi informasi melalui seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, brosur, pamflet, stiker, poster disebarluaskan ke seluruh klinik, puskesmas, dan RS di Indonesia.

Membuat website berisi informasi resmi terkait MERS, ditulis oleh ahli di bidangnya lalu menyebarkannya melalui media-jejaring sosial dan layanan pesan singkat.

Selain itu, mengedukasi petugas bandara untuk langsung mengisolasi setiap pendatang dari luar negeri yang terindikasi MERS, memasang detektor panas di tempat-tempat publik, seperti gedung pertemuan, bandara, rumah sakit, perpustakaan, dan kampus.

Menyiapkan karantina khusus di bandara, pelabuhan, rumah sakit, sebagai langkah antisipatif mencegah penularan MERS, membagi-bagikan masker, terutama kepada tim medis dan petugas yang menangani tersangka MERS, dan melakukan monitoring-evaluasi rutin tentang keberlanjutan program ini.

Jamaah haji dengan demam (lebih dari 38 derajat Celsius), batuk, sulit bernapas, segera meminta bantuan tim medis/RS terdekat. Hindari kontak terlalu dekat dengan unta atau orang lain, terutama saat kondisi tubuh sedang menurun.

Bila bersin/batuk, tutuplah hidung-mulut dengan tisu. Biasakanlah cuci tangan dengan sabun dan air.

Berpola hidup sehat-seimbang dan menjaga daya tahan tubuh, mutlak diperlukan agar tubuh tidak mudah terserang MERS.*

*) Penulis adalah dosen tetap FK Unismuh Makassar, Dokter Literasi Digital, penulis puluhan buku.


Baca juga: Indonesia berisiko terhadap ancaman MERS-CoV

Baca juga: Warga asal Timur Tengah didiagnosa idap Mers di Inggris


 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019