"Bagi mereka yang memang sengaja tidak bersedia memilih atau golput memang tidak ada aturan atau undang-undang yang dapat menjeratnya," kata Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sleman Abdul Karim Mustofa di Sleman, Sabtu.
Menurut dia, munculnya gerakan golput akibat dari ketidakpuasan pemilih terhadap calon yang ada.
"Logika publik ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mau dan tidaknya publik memberikan suara dalam pemilu adalah hak setiap orang," katanya.
Ia mengatakan, dalam logika hukum boleh tidaknya ajakan golput itu dalam pemilu juga masih menjadi perdebatan dan harus dibuktikan dalam aturan yang ada.
"Karena dalam nomenklatur golput itu tidak ada di dalam aturan pemilu," katanya.
Kharim mengatakan, dalam UU No 7/2017 tentang pemilu, pasal 515 isinya hampir menyangkut pada ajakan golput.
"Dalam pasal 515 disebutkan setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta," katanya.
Ia mengatakan, pada pasal tersebut ada tiga hal yang jadi pokok utama. Pertama, memberikan materi agar tidak memilih, kedua, memberikan materi agar memilih calon tertentu yang mana artinya masuk dalam politik uang dan ketiga sengaja merusak surat suara sehingga menjadikannya tidak sah.
"Pasal ini masih perlu diperdebatkan, karena tidak langsung ditujukan pada pelaku golput. Dengan demikian masih susah untuk memasukkan mereka yang melakukan kampanye golput untuk dimasukkan sebagai pidana pemilu menurut Pasal 515. Solusinya ya persuasif saja," katanya.
Baca juga: Bawaslu Purworejo sosialisasikan pengawasan partisipatif lewat CFD
Baca juga: Bawaslu Jateng maksimalkan pengawasan partisipatif
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019