"Mereka (penderita penyakit Huntington) kehilangan kemampuan untuk memberi makan diri mereka sendiri, untuk berbicara, dan sebagainya," kata Elena Cattaneo yang merupakan Direktur Laboratorium Farmakologi Biologi Sel Punca untuk Penyakit Neurodegeneratif di Departemen Biosains sekaligus salah satu pendiri dan menjadi Direktur UniStem, Pusat Penelitian Sel Punca Universitas Milano, Italia, dalam seminar di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Selasa.
Seminar itu merupakan bagian dari rangkaian peringatan 70 tahun terjalinnya hubungan kerja sama bikateral antara Indonesia dan Italia. Seminar itu diadakan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kedutaan Italia di Jakarta, dan Instituto Italiano di Cultura Jakarta.
Penyakit Huntington diakibatkan oleh mutasi pada gen yang diturunkan, yaitu gen Huntingtin (HTT). Penyakit ini terjadi karena adanya perluasan pengulangan sekuen trinukelotida CAG yang menyebabkan mutasi protein yang disebut Huntingtin pada kromosom 4
Jika segmen CAG diulang 9 hingga 35 kali dalam gen maka itu dalam kondisi normal, namun jika pengulangan CAG dalam gen lebih dari 36 maka akan menunjukkan gejala penyakit Huntington.
Cattaneo menuturkan satu salinan gen mutan cukup untuk memiliki gejala klinis penyakit Huntington. Salah satu atau kedua orang tua yang menunjukkan penyakit ini akan menurunkannya pada keturunan berikutnya. Dengan ayah atau ibu yang memiliki penyakit Huntington, maka individu keturunannya memiliki kemungkinan sebesar 50 persen mendapatkan penyakit itu.
Dalam presentasi yang berjudul "Kekuatan Penelitian dari Gen Purba Menuju Masyarakat Modern", Cattaneo menuturkan penyakit Huntington mengakibatkan gerakan yang tidak terkendali, masalah emosional, dan kehilangan kemampuan berpikir.
Penyakit Huntington pada orang dewasa pada umumnya muncul pada usia 30-50 tahun. Namun, gejala penyakit Huntington juga dapat muncul pada usia di bawah 20 tahun.
Tanda-tanda dan gejala awal antara lain cepat marah, depresi, gerakan kecil yang tidak disengaja atau gerakan menyentak, mengalami kesulitan berjalan, berbicara, dan menelan, mengalami koordinasi yang buruk, dan kesulitan mempelajari informasi baru atau membuat keputusan.
George Huntington pada 1872 melaporkan dan mendeskripsikan untuk pertama kalinya tentang penyakit itu sehingga kemudian namanya dilekatkan untuk menunjukkan penyakit yang telah lama ada itu.
George mendeskripsikan pada laporannya yang terbit di Philadelphia pada 13 April 1872, penyakit Huntington biasanya dimulai dengan sedikit kedutan di otot-otot wajah, yang secara bertahap meningkat dalam kekerasan dan variasi.
Kelopak mata terus mengedip, alis bergelombang, dan kemudian diangkat, hidung disekrup pertama ke satu sisi dan kemudian ke sisi lain, dan mulut ditarik ke berbagai arah, memberi pasien penampilan yang paling menggelikan yang bisa dibayangkan. Ketika penyakit itu berkembang, pikiran menjadi terganggu.
Ketika salah satu atau kedua orang tuanya menunjukkan manifestasi penyakit ini, satu atau lebih keturunannya selalu menderita kondisi tersebut.
Nasib penderita Huntington
Ada manusia yang membawa "cacat genetik", setidaknya inilah yang diketahui selama beberapa dekade, yang pasti menyebabkan hilangnya beberapa neuron otak dan munculnya gerakan abnormal dan masalah kejiwaan ketika mereka berusia sekitar 40 tahun. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit atau juga dalam istilah yang lebih populer sebagai tarian Saint Vitus.
Dari awal 1900 di mana penderita Huntington menjadi sasaran hukum Eugenika. Gerakan-gerakan Eugenika (Eugenics) ini mengizinkan sterilisasi bagi penderita Huntington untuk menghindari munculnya keturunan yang akan mengalami penyakit serupa.
Bahkan, ada beberapa desa di Venezuela di mana kejadian penyakit ini 1000 kali lebih tinggi daripada di tempat lain. Desa tersebut berisikan komunitas penderita penyakit Huntington yang terpinggirkan dari orang-orang normal karena penyakit mereka.
Saat gen penyebab penyakit dan obat-obatan baru sekarang sedang diuji di dunia Barat, penderita Huntington di Amerika Latin masih tertinggal dalam kemiskinan, ditinggalkan dan didiskriminasi. Hingga pertemuan dengan Paus Francis pada Mei 2017 dan aksi-aksi yang muncul sejak itu memunculkan lebih banyak simpati terhadap penderita HD agar mereka tidak dikucilkan tapi diperhatikan.
Para penderita Huntington mengalami nasib yang menyedihkan karena ketidakberdayaan mereka terhadap penyakit genetik itu ditambah lagi stigma terhadap mereka. Mereka tidak mampu mengendalikan diri. Mereka mengalami gerakan yang tidak terkoordinasi sehingga terlihat seperti "menari" tapi tak terkendali.
Penderita penyakit itu mengalami perlakuan diskriminasi, pengucilan dan penghinaan serta hidup dalam kelaparan. Mereka meminta bantuan akan makanan dan kasur. Bahkan, Cattaneo menemukan satu keluarga di Venezuela yang memiliki anggota keluarganya sebagai penderita Huntington tinggal di rumah dengan suhu sekitar 40 derajat Celcius tanpa pendingin ruangan.
Cattaneo mengatakan bahkan pada kasus tertentu, penderita Huntington juga pernah mencoba bunuh diri untuk mengakhiri penderitaan mereka. Belum lagi, pada kasus lainnya, anak yang menderita Huntington dikucilkan oleh teman bermain karena mereka takut akan "mendapat" gejala penyakit itu padahal Huntington merupakan kelainan genetik.
Stigma terhadap pasien Huntington seharusnya hilang dan masyarakat pada umumnya sudah semestinya memberikan rangkulan dan bantuan untuk membantu mereka hidup lebih baik.
Sel punca
Aktivitas penelitian Laboratorium Biologi Sel Punca dan Farmakologi Penyakit Neurodegeneratif di Italia didedikasikan untuk mempelajari patogenesis molekuler penyakit Huntington dengan perhatian khusus pada neuron striatal, populasi neuron yang paling parah terkena penyakit Huntington.
Penelitian utama Elena Cattaneo adalah tentang patofisiologi molekuler dan pengobatan terhadap penyakit Huntington. Dengan menggunakan model sel dan hewan yang tepat secara genetis, laboratorium itu berharap dapat berkontribusi pada pemahaman tentang peristiwa yang mengarah pada neurodegenerasi striatal. Salah satu upaya bertujuan untuk mengeksploitasi kemajuan terbaru dalam biologi sel punca embrionik dan terinduksi untuk mendapatkan neuron striatal berduri berukuran sedang yang mengalami degenerasi pada penyakit Huntington.
Dia mengatakan penelitian tentang sel punca untuk degenerasi sel yang paling terbaru saat ini adalah pada penyakit Parkinson. Dia mengatakan, jika pemanfaatan sel punca untuk pengobatan penyakit Parkinson yang menyasar penyelesaian masalah kekurangan dopamin terbukti berhasil, maka pihaknya akan mempelajari prosedur pengobatan dengan sel punca itu untuk mengobati penyakit Huntington.
Dia menuturkan penyakit Huntington jauh lebih rumit dari penyakit Parkinson. Lagipula, pemanfaatan sel punca tidak berhasil untuk semua jenis penyakit. Dia menuturkan pemanfaatan sel punca sendiri tidak memberikan keberhasilan bagi pengobatan Alzheimer.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Prof. Amin Soebandrio menuturkan pihaknya belum menemukan kasus penyakit Huntington di Indonesia.
Jika ditemukan kasus adanya penyakit Huntington, maka dokter yang menangani pasien yang diindikasikan penyakit itu dapat berkoordinasi dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk mendalami kasus itu.
Dia menuturkan gejala utama penderita Huntington adalah gerakan yang tidak dapat dikendalikan atau tidak terkoordinasi.
"Goyangnya itu seperti menari tidak bisa mengendalikan diri, jadi susah sekali untuk pegang gelas saja susah," tuturnya.
Baca juga: Peneliti temukan cara hapus ingatan dan mengembalikannya
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019