Lampu yang diberi nama La Helist (Lampu Hemat Listrik) itu dikembangkan mahasiswi jurusan Teknik Mesin UGM Fadhiela Noer Hafiezha (20) dan mahasiswi pascasarjana Fakultas Pertanian UGM Chaieydha Noer Hafiezha (23). Keduanya merupakan kakak beradik asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Menurut Fadhiela, lampu "La Helist" dikembangkan bersama kakaknya sejak awal 2017 dan sudah mulai diproduksi dalam jumlah besar pada Agustus 2017.
Chaieydha menyebutkan hingga 2019, lampu yang dikembangkan bersama adiknya itu telah diproduksi secara massal hingga 8.000 unit dan telah dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia.
Lampu darurat itu dibanderol dengan harga Rp50.000 per unit untuk lampu dengan daya 3 watt dan Rp90.000 untuk lampu 9 watt.
"Lampu darurat ini awal mulanya kami kembangkan sebagai pengganti lilin bagi masyarakat Blora karena di sana sering mengalami pemadaman listrik pada malam hari," kata Fadhiela di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, kebanyakan masyarakat desa di Blora masih menggunakan lilin saat listrik padam. Padahal apabila tidak hati-hati penggunaan lilin bisa berujung pada kebakaran yang membahayakan masyarakat.
"Penggunaan lilin berpotensi terjadi kebakaran saat ditinggal tidur. Untuk itulah kami mengembangkan lampu darurat ini," kata dia.
Lampu tersebut, kata dia, mampu menyala hingga 12 jam lebih dengan hanya menggunakan baterai tipe AA 1,5 volt yang biasa dipakai untuk baterai jam dinding.
Daya nyala lampu itu, menurut dia, bisa lebih lama dibanding lampu lainnya karena menggunakan trafo ferit dengan konfigurasi lilitan yang tepat.
"Lampu ini juga ramah lingkungan. Trafo ferit yang kami gunakan memanfaatkan trafo ferit dari limbah-limbah lampu yang sudah tidak terpakai," kata dia.
Lampu yang dikembangkan dengan daya 3 watt dan 9 watt itu juga didesain secara minimalis dilengkapi dengan saklar sehingga dapat dibawa dan dihidupkan kapan saja di berbagai tempat tanpa bergantung aliran listrik dari PLN.
"Lampu itu memang kami desain simpel dan praktis tidak perlu memakai `charge`, tetapi cukup menggunakan baterai sebagai pengganti lilin," kata dia.
Saat ini, aktivitas produksi lampu yang mereka kembangkan telah memberikan peluang kerja bagi warga sekitar kediaman mereka di Blora.
"Sekarang sudah ada tiga karyawan. Mereka adalah tetangga saya. Dalam sehari kami mampu menghasilkan 15 sampai 20 lampu," kata Chaieydha.
Meski tidak memiliki keterkaitan dengan bidang studi yang mereka geluti di UGM, menurut dia, pengembangan lampu itu bisa konsisten dilakukan karena keduanya memiliki kedekatan dengan dunia elektronika sejak kecil.
"Bapak saya merupakan guru otomotif SMK di Blora, tetapi menyukai elektronika. Sejak kecil saya sering melihat dan diajari bapak saya mengutak-atik barang-barang elektronik," kata dia.
Baca juga: Industri nasional cuma bisa hasilkan 50 persen lampu LED
Baca juga: Nobel Fisika diberikan ke penemu lampu hemat energi
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019