Surabaya (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo meminta rencana pembangunan di daerah-daerah juga mempertimbangkan risiko kebencanaan terutama untuk wilayah rawan bencana sehingga masyarakat tidak mendirikan bangunan di lokasi tersebut.Rencana pembangunan ke depan harus dilandaskan pada aspek-aspek pengurangan risiko bencana,
"Rencana pembangunan ke depan harus dilandaskan pada aspek-aspek pengurangan risiko bencana. Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) harus mengerti di mana daerah merah, hijau, dilarang dan diperbolehkan," kata Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana 2019 di Jawa Timur Expo, Surabaya, Sabtu.
Rapat koordinasi itu dihadiri Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan 4.000 peserta dari seluruh Indonesia maupun perwakilan negara sahabat.
"Rakyat harus betul-betul dilarang untuk masuk ke dalam tata ruang yang memang sudah diberi tanda merah, artinya mereka harus taat dan patuh kepada rencana tata ruang karena bencana di kita selalu berulang," ungkap Presiden.
Apalagi menurut Presiden, lokasi yang terkena bencana juga berulang di tempat yang pernah terkena sebelumnya.
"Tempatnya di situ-situ saja, kita semua mengetahui, contohnya di NTB (Nusa Tenggara Barat), tahun 1978 ada, di Palu tahun 1978 atau 1979 ada di situ, ada siklusnya sehingga kalau ada ruang-ruang, tempat-tempat yang memang sudah merah dan berbahaya ya jangan diperbolehkan mendirikan bangunan," tegas Presiden.
Menurut Presiden, perencanaan pembangunan di daerah oleh gubernur, bupati maupun Bappeda jarang memasukkan unsur bencana padahal Indonesia berada di wilayah cincin api (ring of fire).
Presiden meminta dalam perencanaan pembangunan di daerah juga melibatkan akademisi dan pakar-pakar kebencanaan.
"Kedua, perlu dimasifkan pelibatan akademisi, pakar-pakar kebencanaan untuk meneliti, melihat titik mana yang rawan bencana, meneliti, mengkaji, menganalisis, potensi-potensi bencana yang kita miliki supaya kita mampu memprediksi ancaman dan mengantisipasi serta mengurangi dampak bencana," tambah Presiden.
Selanjutnya, informasi dari pakar tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat lewat pemuka agama maupun pemerintah daerah setempat.
"Ketiga, apabila ada kejadian bencana maka otomatis kita harus tahu semua, gubernur jadi komandan satgas (satuan tugas) daruratnya dan juga pangdam dan kapolda menjadi wakil komandan satgas untuk membantu gubernur, jangan sedikit-sedikit ke pusat, ini harus kita tahu semua," tegas Presiden.
Berdasarkan data BNPB, sepanjang tahun 2018 tercatat 2.572 kejadian bencana. Bulan Januari dan Februari adalah puncak bencana banjir, longsor dan puting beliung.
Selama Januari 2019, terjadi 366 kejadian bencana yang menyebabkan 94 orang meninggal dan hilang, 149 orang luka-luka, 88.613 orang mengungsi dan terdampak, 4.013 unit rumah rusak meliputi 785 rusak berat, 570 rusak sedang, 2.658 rusak ringan, dan 146 fasilitas umum rusak.
Lebih dari 98 persen bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi selama Januari 2019. Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sulawesi Selatan merupakan bencana yang banyak menimbulkan korban meninggal dan hilang.
Dalam periode yang sama, yaitu 1 Januari hingga 31 Januari, jumlah kejadian bencana 2019 lebih banyak daripada 2018. Perbandingan bencana antara 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa jumlah kejadian bencana naik 57,1 persen, korban meninggal dunia dan hilang naik 308,7 persen, korban luka-luka naik 186,5 persen, korban mengungsi dan terdampak turun turun 49,8 persen, dan jumlah rumah rusak turun 59,7 persen.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2019