Jakarta (ANTARA News) - Pengamat perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai penandatanganan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) antara pemerintah Indonesia dengan Swiss merupakan sebuah langkah maju penegakan hukum tindak pidana perpajakan di Tanah Air.Batu uji berikutnya adalah keberanian untuk melakukan investigasi, termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarkh yang kuat kuasa...
"Kami mengapresiasi penandatanganan MLA ini sebagai sebuah langkah maju yang akan bermanfaat bagi kedua negara, terutama bagi Indonesia dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau. MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss," ujar Yustinus dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Pemerintah Indonesia dan Swiss pada Senin (4/2) lalu menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA). Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.
Menurut Yustinus, Pemerintah Indonesia mempunyai alasan yang kuat menandatangani MLA tersebut dan segera menerapkannya. Namun, ia menilai perlu dilakukan pengujian yang mendalam dan menyeluruh agar diperoleh hasil analisis yang akurat dan dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum.
"Tindak pidana perpajakan merupakan pintu masuk yang paling mungkin dilakukan. Tentu saja koordinasi dan sinergi kelembagaan mutlak dibutuhkan, maka pembentukan gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk," kata Yustinus.
Yustinus mengatakan, tindak lanjut untuk menuntaskan berbagai dugaan tindak pidana baik korupsi, pencucian uang, maupun perpajakan, amat penting untuk memenuhi rasa keadilan publik, termasuk rasa keadilan bagi mereka yang selama ini memilih menjadi warga negara patuh hukum, wajib pajak yang taat, dan mereka telah ikut pengampunan pajak, sehingga MLA adalah tonggak dan instrumen penting.
Ia menambahkan, seyogianya keberhasilan penandatanganan MLA ini dijadikan dasar penegakan hukum dan pembangunan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel. Untuk itu seluruh pihak sudah sepantasnya memberikan dukungan.
"Batu uji berikutnya adalah keberanian untuk melakukan investigasi, termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarkh yang kuat kuasa, yang kemungkinan pernah menikmati kekebalan hukum dan keuntungan luar biasa dari eksistensi suaka pajak dan lemahnya sistem hukum Indonesia," ujar Yustinus.
Menurut penelitian Gabriel Zucman (2017), jumlah asset global di offshore atau tax haven mencapai 10 persen PDB global atau 5,6 triliun dolar AS atau sekitar Rp80 ribu triliun dan sebesar 2,3 triliun dolar AS atau Rp32 ribu triliun disimpan di Swiss. Secara tradisional Swiss merupakan negara suaka pajak (tax haven) tertua dan paling diminati.
Sejak tahun 1924, ketika Perang Dunia memaksa negara-negara menaikkan tarif pajak, tiga kota di Swiss yakni Geneva, Basel, dan Zurich menjadi tujuan penyimpanan dana asing.
Namun sejak 2005, daya tarik Swiss sebagai tax haven terus menurun dari 45 persen porsi global hingga tinggal 28 persen di 2015. Hal ini terjadi karena terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss, selain inisiatif Pemerintah Swiss untuk melonggarkan kerahasiaan dan bekerja sama dengan negara lain, sehingga lokasi tax haven kemudian bergeser ke negara-negara di Eropa, Asia, dan Amerika.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019