"Maksudnya agar negara lebih memperhatikan pendidikan keagamaan non-formal karena untuk yang formal sudah diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional," kata Arsul usai seminar nasional bertajuk "RUU Pesantren dan Pendidikan, Menghadirkan Negara dalam Upaya Menanamkan Pemahaman Keagamaan", di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan pendidikan keagamaan non-formal harus diatur dalam UU agar negara hadir karena lembaga tersebut sudah terbukti efektif sebagai sarana strategis pencegahan ajaran radikal dan program kontra-radikalisasi.
Menurut dia, dalam pendidikan Islam ada Taman Pendidikan Al Quran (TPA), Raudhatul Anthfal yang harus diatur dalam UU sehingga mendapatkan perhatian dari negara.
"Lembaga pendidikan keagamaan menjadi sarana strategis pencegahan ajaran radikal dan program kontra-radikalisme. Karena itu tersambung dengan UU Terorisme," ujarnya.
Dia mengatakan ketika RUU Pesantren disahkan maka akan ada aturan teknis sebagai pelaksananya, apakah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau Peraturan Menteri (Permen).
Arsul menilai aturan teknis itu akan dibuat segera karena tenggat waktu dibuatnya diatur dalam RUU Pesantren.
"Sama halnya dalam UU Terorisme, kami set PP dibuat selesai dalam waktu setahun," katanya.
Selain itu Arsul mengatakan seminar yang diadakan F-PPP itu dalam rangka meminta masukan pihak-pihak terkait salah satunya Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Nasional yang menghimpun lembaga pendidikan lintas gereja.
Menurut dia, masukan dari kalangan pesantren, BAMAG, dan perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menjadi masukan bagi Fraksi PPP dalam menyempurnakan draf RUU Pesantren tersebut.
Baca juga: Muhaimin: RUU Pesantren kado Hari Santri Nasional
Baca juga: Presiden bertemu ulama Aceh bahas RUU Pesantren
Baca juga: Kemenag sempurnakan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019