Jakarta (ANTARA News) - Kalangan peneliti mengingatkan Kementerian Pertanian terutama melalui Badan Karantina Pertanian untuk mewaspadai potensi masuknya hama ulat grayak jenis baru yang disebut "Fall Armyworm" ke Indonesia.Ini patut kita waspadai dan kita harus mulai mengawasi produk pertanian impor. Kementerian Pertanian terutama karantina harus memperketat pengawasan terhadap produk yang masuk
Peneliti Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Idham Sakti Harahap di Bogor, Kamis mengatakan, "Fall Armyworm" atau Spidoptera frugiperda merupakan salah satu dari spesies ulat grayak yang mempunyai tingkat serangan dan jelajah sangat tinggi.
"Pada tahun 2016 mewabah di Benua Amerika, kemudian masuk Benua Afrika tahun 2017 dan menyebar di wilayah Asia hingga masuk ke Thailand pada tahun 2018," katanya dalam workshop Fall Armyworm on Corn, and Threat to Food Security in Asia Pasific Region yang diselenggarakan Corteva.
Menurut dia, hama ini termasuk yang sulit dikendalikan, karena imagonya cepat menyebar, bahkan termasuk penerbang kuat dapat mencapai jarak yang cukup jauh dalam satu minggu, bahkan dengan dibantu angin bisa mencapai 100 km.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2017, hama tersebut menyebar hampir ke semua negara yang menanam jagung di Afrika dan Afrika Selatan, dan kini sudah menyebar di negara tropika dan subtropika, seperti Brasil dan Amerika Selatan, di Asia sudah masuk ke Yaman, India, Myanmar dan Thailand.
Ada kemungkinan hama itu masuk terbawa produk sayuran yang diimpor dalam bentuk larva, ujar Idham, apalagi banyak komoditas pertanian asal Thailand yang masuk ke Indonesia.
"Ini patut kita waspadai dan kita harus mulai mengawasi produk pertanian impor. Kementerian Pertanian terutama karantina harus memperketat pengawasan terhadap produk yang masuk," katanya.
Baca juga: Ditemukan ulat perusak tanaman yang sedang menyebar cepat di Afrika
Idham juga mengingatkan, patut diwaspadai juga ledakan populasi hama ini pada awal musim hujan, terutama saat masa awal musim tanam, apalagi jika sebelumnya terjadi musim kemarau panjang.
Dia menambahkan Brasil mempunyai pengalaman pahit dalam mengendalikan hama ulat yang bergerak secara massif seperti pasukan tentara tersebut.
Negara samba itu harus mengeluarkan biaya hingga 600 juta dolar AS. Sedangkan negara-negara di Afrika yang juga terserang hama tersebut bukan hanya menurunkan produksi jagung, tapi juga menurunkan pemasaran dan perdagangan internasional.
Pusat Pertanian dan Biosains Internasional (CABI) pada tahun 2018 memperkirakan kerugian yang terjadi akibat serangan hama Spidoptera frugiperda terhadap tanaman jagung di 12 negara Afrika tingkat produksinya tinggal 4 ton/tahun sedangkan nilai kerugian 1-4,6 juta dolar AS per tahun.
Sementara itu peneliti Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB lainnya, Dewi Sartiami menambahkan, untuk mengendalikan hama tersebut bukan hanya media pembawa yang diwaspadai, tapi juga ada kemungkinan manusia yang menjadi pembawa, terutama yang bepergian ke wilayah yang sedang mewabah Spidoptera frugiperda.
"Jangan sampai Spidoptera frugiperda sampai invansif di Indonesia. Kasus rusaknya tanaman jagung di Papua yang mencapai 500 ha secara cepat dan serempak harus kita waspadai," tegasnya.
Sementara Kepala Balai Penelitian Serealia Balitbangtan, Maros, M. Azrai menegaskan, hingga kini belum ada laporan tanaman jagung yang terserang hama Spidoptera frugiperda.
Dia menyatakan hama yang selama ini ada yakni penggerek batang, penggerek tongkol, aphis, belalang kembar, sedangkan ulat grayak yang menyerang tanaman jagung memang dari jenis sudah adadi Indonesia yakni Spidoptera lituran dan exigua.
Baca juga: Studi: petani Afrika siapkan bio-pestisida guna perangi ulat grayak
Baca juga: Sudan Selatan dan PBB bersatu perangi ulat grayak
Pewarta: Subagyo
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019