Budaya "ngopi" ala Suku Sasak

8 Februari 2019 12:34 WIB
Budaya "ngopi" ala Suku Sasak
Anambo Tono (kanan) meracik kopi Arabika Sembalun Sajang produknya saat dipamerkan di kantor Dispar NTB di Mataram. Produk kopi olahan dari bahan biji kopi arabika lokal asli Sembalun, Lombok yang berlabel Wangi Wangi tersebut dipasarkan secara online dengan harga Rp125 ribu untuk kopi cair kemasan botol dan Rp125 ribu untuk kopi bubuk kemasan isi 250 gram. (ANTARA /Ahmad Subaidi)
Kopi hitam tradisional Lombok terbuat dari biji kopi mentah yang disangrai dalam wajan terbuat dari tanah liat, hingga gosong menghitam dan menghasilkan aroma harum khas.
Kemudian dicampur sedikit beras dan sedikit kelapa yang diiris kecil, dan selanjutnya ditumbuk halus sehingga dapat mengasilkan serbuk kopi yang siap diseduh.

"Kopi hitam yang diracik secara tradisional akan menghasilkan cita rasa kopi yang berbeda dari pada kopi kemasan bagi penikmatnya," kata warga Pagutan, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Inaq Hamidah.

Tradisi mengopi bagi masyarakat Suku Sasak Lombok telah turun temurun dari generasi ke generasi, dalam setiap kegiatan maupun acara apapun. Bahkan, dalam kunjungan bertamu, minuman kopi selalu menjadi suguhan yang wajib menemani hidangan makanan.

"Terutama bagi kaum laki-laki," kata Ahmad Jaba`i yang telah menikmati kopi sejak 40 tahun lalu.

Kebiasaan turun temurun ini, ia miliki sejak berusia belia hingga sekarang. "Sekarang kalau tidak minum kopi ia akan merasa pusing dan hampa," katanya.

Ketika menjajaki setiap pedesaan di seluruh wilayah Pulau Lombok dari Lombok Barat hingga Lombok Timur, dari ujung selatan Lombok sampai ujung utara, pasti akan dijumpai tradisi masyarakat yang fanatik terhadap kopi.

Kalau lah kunjungan ke setiap desa, harus singgah di 10 rumah, maka akan dijumpai suguhan 10 cangkir kopi hangat.

Jaba`i yang juga tokoh masyarakat Lingkungan Pagutan itu, menambahkan setiap kali berkunjung ke rumah warga pasti tuan rumah akan mengeluarkan secangkir kopi.

"Sekiranya kita mendatangi 10 rumah maka 10 cangkir kopi yang akan kita minum," katanya.

Muncullah pertanyaan tentang apa alasan warga Suku Sasak Lombok begitu mencintai kopi sehingga selalu menomorsatukan minuman itu sebagai suguhan dalam menjamu tamu.

Dahulu kala, para orang tua suku itu hanya memiliki kopi, tidak ada menu minuman lain, seperti teh atau susu.

"Memang daerah Pulau Lombok sudah menjadi daerah penghasil kopi," katanya.

Selain itu, pada masa kerajaan, kopi menjadi minuman favorit keluarga kerajaan sehingga masyarakat Lombok melestarikan kebiasaan yang baik itu. Ketika menjamu tamu, mereka memberikan sajian yang terbaik bagi tamunya itu.

Kopi memiliki efek yang sangat luar biasa dari segi psikologis masyarakat, baik dari komunikasi, hubungan, dan kekerabatan.

Kopi menjadi media transmisi atau penyambung hati masyarakat dari yang tidak saling kenal menjadi kenal, yang tidak akrab menjadi semakin akrab.

"Dan bahkan, apa saja bisa diperbincangkan panjang lebar dengan menikmati secangkir kopi," kata salah seorang penikmat kopi Mataram, Ukok.

Setidaknya, melalui kopi hangat bisa bersahabat dengan orang yang sebelumnya tidak dikenal satu sama lain. Bahkan, Laman kopi keliling pernah menyebutkan 90 persen orang Lombok selalu singgah di warung kopi dalam setiap perjalanan mereka.

Penghasil

Berdasarkan catatan salah media dalam jaringan di daerah itu, Desa Prabe, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat merupakan bekas Kerajaan Prabe yang menjadi desa penghasil kopi terbaik sejak 1977. Daerah Sembalun, Lombok Timur juga pernah dikenal sebagai penghasil kopi Arabika.

Pada 1962, warga Sembalun melakukan kerja sama dengan pemerintahan saat itu, seperti usaha kredit tani dengan melakukan penanaman bibit kopi Arabika di wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani, di ketinggian 1.300 hingga 1.600 meter dari permukaan air laut.

Namun, pada 1969 para petani mengalami panceklik dan tidak mampu membayar tunggakan kredit.

"Warga saat itu mengganti bayarannya dengan menyerahkan lahan tanah mereka kepada pemerintah saat itu, kata tokoh pemuda Sembalun Lawang, Rusmala.

Mulai saat itulah usaha kopi di Lombok redup. Warga kemudian beralih pekerjaan menjadi petani sayuran, sedangkan kebun kopi mereka diserahkan kepada pemerintah.

Kendati demikian, sebagian warga Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung sengaja membawa bibit pohon kopi yang tersisa. Mereka menanamnya di depan pekarangan rumahnya untuk sekadar penghias halaman rumah.

Pemilik rumah memetik buah kopi hanya untuk membarterkan dengan kebutuhan sehari-hari di pasar, dan sebagian disimpan untuk minuman pribadi dan suguhan ketika ada acara keluarga, serta menerima tamu.

Sebenarnya, budaya ngopi itu sudah tertuang dalam sastra Arab, bahwa kebiasaan ngopi dipraktikkan oleh para ulama ahli sufi pada masa lalu. Hal itu untuk bisa konsentrasi dalam menulis dan ibadah kepada Allah SWT.

Ahli sufi Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami menyebutkan, "Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh ahli shofwah (orang orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan".

Oleh karena itu, biasakan menikmati secangkir kopi dengan tidak menggunakan gula agar terasa lebih afdal. Selamat "ngopi"!?

Baca juga: Menikmati kopi untuk donasi korban gempa Lombok- Sulawesi

Baca juga: NTB ingin promosikan kopi Sumbawa dan Lombok


 

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019