"Sepintas kalau saya baca rasanya hanya disinggung sedikit karena rumusannya biasanya umum," kata Khudori ketika dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Terkait dengan perkembangan beragam komoditas pangan selama beberapa tahun terakhir, menurut dia, hal tersebut harus dilihat setiap komoditas pertanian.
Ia mencontohkan padi, yang berdasarkan data yang sudah dikoreksi BPS ditemukan bahwa produksi padi mengalami surplus hingga sekitar 3 juta ton.
Selain itu untuk komoditas jagung, mengacu kepada data kementerian teknis ada surplus, namun hal itu dinilai masih menjadi kontroversial.
"Data kementerian teknis kita surplus luar biasa, namun masih jadi kontroversi karena surplus tetapi peternak kesulitan mendapatkan jagung untuk pakan," katanya.
Sedangkan untuk kedelai, produksinya bukannya naik tetapi mengalami penurunan sehingga tingkat ketergantungan terhadap impor juga semakin tinggi.
Sementara untuk gula dan daging sapi dinilai relatif sama, yaitu relatif stagnan karena selama beberapa tahun terakhir tingkat produksinya hampir-hampir mirip dan tidak ada lonjakan.
Untuk program reforma agraria, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) itu melihat kepada dua hal, yaitu kepada program perhutanan sosial yang perkembangannya dinilai cukup cepat.
Namun untuk program pembagian lahan kepada petani dinilai masih mengalami banyak hambatan yang dinilai terjadi karena beberapa faktor yang kompleks dan harus dilihat per daerah penyebabnya.
Baca juga: Pengamat: tiga isu pertanian harus dikritisi dalam debat
Baca juga: Kedua pasang capres-cawapres belum miliki program untuk lingkungan
Baca juga: Capres diminta berani jelaskan substansi program di debat kedua
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019