Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia memandang lambannya hasil perundingan perdagangan antara AS dan China pada Jumat ini di Beijing, China, turut memberikan sentimen negatif bagi pelemahan mata uang di kawasan termasuk rupiah yang terperosok ke Rp14.126 per dolar AS.Pertemuan antara dua negara ekonomi raksasa itu menimbulkan dinamika di pasar keuangan pada Jumat pagi
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah ketika dihubungi Antara di Jakarta, Jumat, mengatakan perhatian pelaku pasar pada Jumat ini tersita pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di Beijing, China.
"Pelemahan mata uang regional dipengaruhi concern (perhatian) pasar terhadap progres perundingan dagang yang berjalan lambat," kata Nanang.
Pertemuan antara dua negara ekonomi raksasa itu menimbulkan dinamika di pasar keuangan pada Jumat pagi.
Dinamika itu antara lain aksi pembelian aset kembali (short covering) oleh perbankan yang lazimnya menimbulkan koreksi teknikal di pasar terhadap mata uang.
"Jadi, (pelemahan rupiah) lebih ke koreksi teknikal. Pelemahan rupiah lebih disebabkan short covering perbankan di tengah pelemahan seluruh mata uang regional hari ini," kata dia.
Short Covering merupakan aktivitas pelaku pasar dengan membeli kembali aset di pasar dengan tujuan untuk melindungi atau meminimalisasi potensi kerugian atas penjualan yang dilakukan sebelumnya karena pergerakan harga.
Sejalan dengan ekspetasi pasar terhadap perundingan dagang antara AS dan China, nilai tukar rupiah stagnan di Jumat siang setelah melemah sejak perdagangan pada Jumat pagi.
Pada 15.30 WIB, atau menjelang penutupan, rupiah diperdagangkan di Rp14.126 per dolar AS, atau melemah 30 poin dari nilai pembukaan pada Jumat pagi.
Sementara, terkait sentimen domestik akibat defisit neraca perdagangan Indonesia periode Januari 2018 yang menembus 1,16 miliar dolar AS, Nanang menganggap hal tersebut tidak menjadi sentimen yang memperlemah rupiah.
Pasalnya, defisit neraca perdagangan yang mencerminkan masih lesunya ekspor itu sudah diperkirakan pelaku pasar, meskipun besaran defist yang timbul memang lebih besar daripada ekspetasi pasar.
"Bukan disebabkan defisit perdagangan 1,16 miliar dolar AS, sedikit lebih tinggi dari ekspetasi pasar yang 917 juta dolar AS," ujar Nanang.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat ini mengumumkan nilai ekspor Indonesia pada Januari 2019 sebesar 13,87 miliar dolar AS atau turun 4,7 persen secara tahunan.
Sementara, nilai impor sebesar 15,03 miliar dolar AS atau turun 1,83 persen secara tahunan. Dengan demikian, neraca perdagangan pada Januari 2019 mengalami defisit 1,16 miliar dolar AS.
Pasar saham juga merespon negatif pengumuman defisit neraca perdagangan itu.
IHSG yang pada Jumat pagi dibuka menguat 5,8 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.425,81, langsung melemah 29,82 poin (0,46 persen) ke posisi 6.390,2, beberapa saat setelah pengumuman defisit neraca perdagangan.
"Defisit neraca perdagangan lebih tinggi dari konsensus analis," kata analis Binaartha Sekuritas M Nafan Aji.
Baca juga: BI sebut pelemahan rupiah lebih karena koreksi teknikal pasar
Baca juga: China-AS mulai lagi rundingkan perdagangan
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019