Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di daerah agar anak-anak itu bisa kembali bersekolah dan hak atas pendidikannya terpenuhi.
“Kami akan melakukan pengawasan kami akan ke Kota Solo. Karena sampai hari ini anak ini belum sekolah,” kata Retno di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan informasi awal yang diterima pihaknya, banyak orang tua murid yang menolak anak tersebut karena khawatir anak mereka akan tertular HIV jika satu sekolah dengan anak tersebut.
Menurut Retno, masih ada anggapan HIV dapat tertular lewat luka yang disebabkan oleh jatuh atau kecelakaan.
“Ternyata para orang tua mikirnya gini, kalau dia (anak yang HIV) main, terus jatuh, terus berdarah, kalau berdarah terus anak yang lain luka dan nolongin, lalu pertemuan darah dengan darah itu menular,” ucap dia.
Padahal, penularan HIV tidak semudah itu. Lagi pula, kata Retno belum tentu juga anak itu akan mengalami jatuh hingga luka di sekolah.
“Sebenernya hal itu juga bisa kita atasi, dengan cara kita minta pengasuh anak-anak ini, karena anak-anak ini diasuh khusus karena banyak dari mereka yang orang tuanya meninggal. Suruh saja pengasuhnya yang menangani. Bukan anak-anak mereka atau orangtua yang komplain. Ini masalah teknis yang masih bisa kita atur,” ucap dia.
Dia pun meminta pemerintah untuk lebih giat mensosialisasikan penularan HIV lewat iklan layanan masyarakat agar masyarakat paham dan tak terjadi diskriminasi.
“Dulu ada iklan layanan masyarakat seperti itu, misalnya anak main bola dan jatuh berdarah tapi ada penangannya. Kenapa HIV tidak dilakukan hal yang sama?,” ucap dia.
Sebelumnya, 14 anak yang tinggal di Yayasan Lentera ditolak untuk bersekolah di SDN Purwotomo seiring dengan penolakan yang dilakukan oleh orang tua siswa lain.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya anak-anak tersebut bersekolah di SDN Bumi, namun "pascaregrouping" sejumlah sekolah, 14 anak ini dipindahkan ke SDN Purwotomo.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019