Kakao dan prospek olahan cokelat di Lhokseumawe

18 Februari 2019 11:23 WIB
Kakao dan prospek olahan cokelat di Lhokseumawe
Ilustrasi - Pekerja melakukan proses pengemasan makanan olahan cokelat di salah satu perusahaan pengolahan cokelat di Kademangan Blitar, Jawa Timur, Senin (3/12). (ANTARA FOTO/Irfan Anshori/hp.
)
Lhokseumawe (ANTARA News) - Industri pengolahan biji kakao (cokelat) memiliki prospek yang cerah di Provinsi Aceh, karena selain didukung oleh ketersedian bahan baku, kakao Aceh juga dikenal berkualitas.

Akan tetapi, di Aceh sendiri, belum banyak pelaku usaha yang terjun menggeluti bisnis pengolahan cokelat tersebut.

Komoditi salah satu produk perkebunan tersebut lebih banyak dipasarkan dalam bentuk biji tanpa memberi banyak nilai lebih.

"Selama ini tidak diolah menjadi produk makanan siap santap. Setelah dipetik dari kebun, petani menjual biji ke pengepul, lalu pengepul menjual ke agen yang lebih besar lagi di Sumatera Utara. Dari sana komoditas kakao Aceh masih dalam bentuk biji dipasarkan ke berbagai negara tujuan," ungkap Deddi Iswanto Ibrahim, pemilik Cado Coklat.

Deddi, panggilan akrab pria yang membuka usaha pengolahan biji cokelat di rumahnya yang beralamat di Gampong (desa) Ulee Nyeu, Kecamatan Banda Baro, Kabupaten Aceh Utara, tersebut memulai usaha pengolahan kakao menjadi siap santap sejak 2010 dengan merek dagang Cado.

Pengolahan produk Cado, tidaklah menggunakan peralatan industri modern sebagaimana mestinya pada industri pengolahan kakao lainnya, akan tetapi pengolahan kakao menjadi siap santap dengan menggunakan peralatan rumah tangga seadanya.

"Dari hasil belajar dan tanya sana sini dan kerja keras akhirnya saya mencoba membuat produk dari bahan biji cokelat lokal, namanya KaCho alias Caramel Chocolate by Cado`s Home Food Industry hasil rumah produksi Produk Cado. Kami sama sekali belum memiliki peralatan industri, sehingga proses pembuatannya masih menggunakan peralatan rumah tangga dan dilakukan serba manual," ujar Deddi.

Sementara mengenai pasaran produk Cado sendiri dipasarkan di beberapa super market di wilayah pesisir timur Provinsi Aceh.

Berbicara mengenai awal mulanya dirinya terjun kedalam bisnis pengolahan produk makanan berbahan baku kakao tersebut, Deddi mengaku, bahwa banyak komoditi perkebunan yang berkualitas yang berasal dari Aceh dipasarkan dalam bentuk belum jadi atau setengah jadi. Seperti kopi, nilam, pinang hingga kakao dan lain sebagainya.

"Bertolak dari kondisi tersebut, saya melihat ada peluang dan memiliki nilai tambah dari sebuah produk seperti cokelat, misalnya. Selama ini coklat tidak diolah menjadi produk makanan siap santap. Cokelat kita dijual dalam bentuk biji bahkan hingga keluar negeri," ucapnya.

Dia berusaha agar produk biji kakao dapat memberi nilai tambah agar lebih bernilai dan tentu saja memberi pemasukan yang lebih dibandingkan dijual dalam bentuk biji. Menariknya, rumah produksi Cado memperkerjakan anak-anak yatim, anak putus sekolah dan mahasiswi yang bekerja sambil kuliah, juga janda korban konflik.

Dia memproduksi penganan cokelat tidak secara rutin akan tetapi menurut tinggi rendahnya permintaan pasar.

"Semuanya dilakukan berdasarkan pesanan dan tingkat kebutuhan pasar. Karena kami belum mampu memproduksi secara massal," ucap Deddi.

Sementara itu, mengenai jumlah produksi yang dihasilkan setiap bulannya rata-rata 35 Kilogram cokelat yang sudah jadi. Sedangkan omset per bulan berkisar antara Rp7 juta hingga Rp12 juta.

"Karena skala usaha masih rumahan, hasil yang yang diperoleh juga masih tergolong minim, begitu juga dengan omzet yang diperoleh," katanya.

Kakao (Theobroma cacao L.), menurut wikipedia, adalah pohon budidaya di perkebunan yang berasal dari Amerika Selatan, namun sekarang ditanam di berbagai kawasan tropika. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat.

Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10 meter. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5 meter tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif.

Produksi kakao di Aceh hampir merata di seluruh daerah tingkat II. Di Kabupaten Aceh Utara, berdasarkan data dari Dinas Perkebunan setempat menyebutkan bahwa luas lahan kebun kakao di Aceh Utara mencapai 10 ribu hektar.

Dinas perkebunan Aceh Utara, untuk lebih mengenjot produksi dari budidaya kakao, memberikan penyuluhan kepada petani kakao tentang teknik sambung samping yang dapat meningkatkan produktivitas kakao dimasa mendatang.

Muslim, Kepala Seksi Perlindungan Tanaman dan Pengembangan Lahan pada Dinas Perkebunan Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPPKH) Kabupaten Aceh Utara mengatakan bahwa tujuan dilakukannya teknik sambung samping ini adalah sebagai salah satu usaha meningkatkan produktivitas kakao di Aceh Utara, agar lebih menguntungkan bagi petani.

Selain itu, dengan teknik sambung samping itu juga dapat menjadi contoh bagi petani kakao lainnya agar tanaman lebih produktif.

"Selama ini, banyak tanaman kakao yang dibudidayakan oleh petani bukan berbenih jenis unggul sehingga berdampak pada besaran panennya. Akan tetapi dengan teknik sambung samping ini yang berasal dari cabang benih unggul akan memperbaiki produksi yang menjadi lebih baik lagi," kata Muslim.*


Baca juga: Kakao dengan teknik sambung samping dikembangkan Aceh Utara

 

Pewarta: Mukhlis
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019