Medco berminat kelola Blok Corridor

19 Februari 2019 17:33 WIB
Medco berminat kelola Blok Corridor
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar (kiri) didampingi Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto (kedua kiri) saat penandatanganan Kontrak Bagi Hasil Gross Split Wilayah Kerja minyak dan gas bumi (WK Migas) Rimau oleh Dirut Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Arief Kadarsyah (kedua kanan) dan Dirut PT Medco E&P Rimau Ronald Gunawan di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (14/2/2019). Penandatanganan tersebut merupakan perpanjangan kontrak bagi hasil antara Pemegang Partisipasi Interes PT Medco E&P Rimau sebesar 95 persen dan Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi sebesar lima persen yang mulai efektif pada 23 April 2023 selama 20 tahun.ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Medco akan mematuhi aturan pemerintah, yaitu menunggu ditawarkan dulu kepada kontraktor eksisting dan kemudian ke Pertamina

Jakarta (ANTARA News) - PT Medco Energy Internasional berminat mengelola ladang minyak dan gas, Blok Corridor, yang ada di wilayah Sumatera Selatan. 

Presiden Direktur Medco Energi Hilmi Panigoro usai menghadiri seminar energi di Jakarta, Selasa mengatakan untuk bisa mengelola blok migas ini Medco akan mematuhi aturan pemerintah, yaitu menunggu ditawarkan dulu kepada kontraktor eksisting dan kemudian ke Pertamina. 

Blok Corridor ini dikelola oleh tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yaitu ConocoPhillips, Repsol dan PT Pertamina (Persero). 

Kontraktor ConocoPhillips bertindak sebagai operator dengan hak kelola 54 persen, Pertamina 10 persen, dan Repsol Energy 36 persen. 

ConocoPhilips sudah mulai mengelola blok tersebut sejak 2002 setelah mengakuisisi Gulf Resources.

Kontrak Blok Corridor yang terletak di daratan Sumatera Selatan akan berakhir 19 Desember 2023.  

Sementara itu, dalam paparannya terkait kondisi migas Indonesia pada seminar tersebut, Hilmi mengatakan, saat ini Indonesia berada pada masa transisi energi.

Transisi energi dari waktu ke waktu selalu berubah. Dari batubara pindah ke minyak tidak terlalu drastis, sementara saat ini batubara masih banyak dipakai untuk kelistrikan karena murah.

"Ada tiga hal yang harus diperhatikan, pertama lingkungan, begitu keras desakan lingkungan supaya lakukan dekarbonisasi. Kita agreed konvensi di Paris. Kedua elektrifikasi. Terakhir teknologi. Paling relevan buat kita adalah storage," kata dia.  

Dia mengatakan bagi Indonesia, porsi minyak sampai 2035 masih penting, pertumbuhannya 2,6 persen, selain pertumbuhan konsumsi listrik.

Tahun 2035-2040, kombinasi defisit bahan bakar jenis gasoline ditambah diesel bisa sampai satu juta barel per hari.

"Konsumsi energi yang besar itu good for us, drive the economy. Tapi, kita harus produktif. Jadi, konsumsi satu juta barel ini jadi sesuatu yang produktif. Namun, jangan disubsidi. Di situlah regulator sangat berperan," kata Hilmi.  

Menurut dia, posisi hulu migas dalam 15 tahun ke depan masih penting, untuk itu Indonesia harus berani berkompetisi yang salah satunya bisa ditunjukkan dengan instrumen fiskal terbaik.  

"Pertama fiskal harus menarik, kedua harus dihormati sampai akhir kontrak. Ketiga accelerate development. Ini kalau mau naik produksinya," katanya.

Baca juga: Bersaing dengan EBT, Menteri Jonan minta industri gas makin kompetitif
Baca juga: Medco komitmen pertahankan tingkat produksi migas
Baca juga: Arcandra sebut pengelolaan Blok Corridor dibahas September

 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019