• Beranda
  • Berita
  • Ini kata pakar transportasi soal TOD yang berhasil

Ini kata pakar transportasi soal TOD yang berhasil

19 Februari 2019 18:35 WIB
Ini kata pakar transportasi soal TOD yang berhasil
Calon penumpang menunggu datangnya MRT di Stasiun MRT Chatuchak Park, Bangkok, Thailand, Minggu (10/2/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Ada ketergantungan sangat tinggi dari masyarakat dengan angkutan massal tersebut

Jakarta (ANTARA News) - Pakar Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono WIbowo mengatakan kawasan berorientasi transit (TOD) yang berhasil adalah yang membuat masyarakat memiliki ketergantungan tinggi terhadap moda transportasi massal yang dioperasikan di kawasan tersebut, baik itu MRT, LRT atau lainnya.

"Ada ketergantungan sangat tinggi dari masyarakat dengan angkutan massal tersebut," kata Sony kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan untuk menciptakan sifat ketergantungan terhadap moda transportasi massal adalah dengan memusatkan seluruh kegiatan di stasiun dan tempat-tempat publik, baik itu sekolah, pusat berbelanjaan, perkantoran dan perumahan tidak jauh dari stasiun maksimal satu kilometer. 

Berkaca dari Singapura, lanjut dia, hampir seluruh kegiatan bisa dilakukan di stasiun dan ada akses langsung menuju tempat-tempat umum tersebut.

Terlebih, bagi pemilik kendaraan yang rumahnya dekat dengan stasiun dikenakan pajak lebih tinggi, selain itu sedikitnya tempat parkir di kawasan TOD, efektif membuat orang untuk tidak mengendarai mobil pribadi dan memilih naik MRT.

“Kalau kita belajar TOD yang sebenarnya, Singapura adalah contoh TOD yang benar di mana semua aktivitas ada di stasiun, orang yang tinggal di sekitar situ sangat tergantung, enggak perlu keluar stasiun semua kebutuhan sudah ada,” katanya.

Selain mengurangi kemacetan secara signifikan karena penurunan jumlah pengguna kendaraan pribadi, efek positif dari TOD adalah pendapatan dari nontiket bisa tumbuh dan bahkan melampaui pendapatan dari tiket.

“MRT tidak bisa mengandalkan 100 persen dari tiket, MRT Singapura saja penghasilan tiket dan tambahan dari iklan, gerai di stasiun baru menutupi 70-80 persen dari biaya operasional,” katanya.

Untuk kondisi MRT Jakarta, dia berpendapat, masih banyaknya lahan parkir, sehingga masih ada opsi bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi.

“Kalau lahan parkir masih banyak, orang merasa enggak perlu naik MRT ke mall, akibatnya penumpang MRT jadi sedikit,” katanya.

Namun, Ia mengatakan hasil dari pembangunan MRT plus TOD memang dibutuhkan proses yang lama setidaknya 20 tahun, misalnya Singapura yang membangun MRT tahun 1987, baru terasa dampaknya pada tahun 2000an, kemudian Hong Kong dan Manila, Filipina pun demikian. 

Sony menambahkan pembangunan TOD juga sebaiknya paralel dengan pembangunan sarana dan prasarana MRT, sehingga nilai tambah bisa dirasakan lebih cepat.

“Kalau misalnya ketika MRT dioperasikan enam bulan atau satu tahun rugi ya wajar karena jaringannya belum penuh dan kawasan TOD belum terbangun,” katanya.


Baca juga: TOD, "magnet" integrasi dan bisnis MRT
Baca juga: MRT: munculkan kultur baru bertransportasi dan jalan kaki

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019