Impor bisa dilakukan, namun menjadi pilihan terakhir ketika produksi minus dan cadangan Bulog sudah tidak bisa diusahakan dari dalam negeri.
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyebut kebijakan impor seharusnya menjadi opsi terakhir untuk memenuhi fungsi Bulog sebagai badan penyangga kebutuhan pangan.
"Impor bisa dilakukan, namun menjadi pilihan terakhir ketika produksi minus dan cadangan Bulog sudah tidak bisa diusahakan dari dalam negeri," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Rusli menjelaskan Bulog sebagai lembaga penyangga kebutuhan pangan, membutuhkan minimal 1,5 juta ton untuk cadangan jika terjadi hal-hal mendesak seperti bencana atau gagal panen.
Namun, surplus sekitar hampir 3 juta ton beras yang ada di masyarakat tidak bisa sepenuhnya diserap oleh Bulog karena sejumlah kondisi seperti kualitas yang tidak sesuai hingga kebiasaan masyarakat yang menyimpan beras untuk kebutuhan sendiri.
Di sisi lain, jika Bulog kekurangan cadangan, maka impor menjadi jawaban agar gudang BUMN itu bisa tetap menyimpan pasokan beras.
"Hanya saja yang diimpor itu kadang tidak semua masuk ke Bulog, justru malah ke pasar. Makanya perlu ada manajemen logistik yang baik untuk mengaturnya," katanya.
Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.
Jokowi menyebut produksi beras mencapai 33 juta ton dengan konsumsi sebanyak 29,5 juta ton, sehingga Indonesia sudah surplus hampir 3 juta ton.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019