Jakarta (ANTARA News) - Pemohon uji materi terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Oka Syahputra Harianda menyatakan kekecewaannya setelah permohonannya kepada Mahkamah Agung (MA) ditolak.Permenkes tersebut mengabaikan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
"Permenkes tersebut mengabaikan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah," kata Oka dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta, Rabu.
Menurut Pasal 31 Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Oka menyatakan uji materi yang dia mohonkan merupakan upaya koreksi masyarakat sipil terhadap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kami banyak mengadvokasi pemerintah daerah di Sumatera Utara dalam hal pengendalian tembakau. Mereka kecewa terhadap Permenkes tersebut. Isunya, Permenkes tersebut memang tidak melibatkan pemerintah daerah," kata Koordinator Pengendalian Tembakau Yayasan Pusaka Indonesia yang berbasis di Medan, Sumatera Utara itu.
Sementara itu, pegiat Solidaritas Advokat untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) Indonesia Ari S Wibowo yang menjadi kuasa hukum Oka mengatakan MA tidak melihat pertimbangan pemohon tentang Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
"Pajak rokok adalah kewenangan daerah dan menjadi jenis pajak provinsi. Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur. Sudah diserahkan ke daerah, tetapi malah ditarik ke pusat lagi," katanya.
Sementara itu, pakar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Prof Hasbullah Thabrany menilai putusan MA tersebut di satu sisi mengecewakan, tetapi di sisi lain merupakan peluang bagi masyarakat sipil untuk meluruskan tentang pajak rokok dan JKN.
"Pajak rokok adalah hak daerah, bukan pemerintah pusat. Memang saya sering mengatakan pajak rokok merupakan solusi bagi defisit JKN. Namun, defisit JKN kerap disalahtafsirkan," jelasnya.
Hasbullah mengatakan pajak dan cukai rokok sejatinyan termasuk denda terhadap konsumsi barang berbahaya yang merusak lingkungan. Melalui denda tersebut, perokok yang merusak lingkungan, termasuk kesehatan orang di sekitarnya, harus bertanggung jawab terhadap kerusakan dan kesakitan yang terjadi.
"Potensinya memang sangat besar. Perhitungan saya, produksi rokok di Indonesia masih bisa 28 miliar bungkus per tahun. Kalau per bungkus dendanya Rp2.000 saja, akan dapat Rp56 triliun. Sangat besar untuk menutup defisit JKN yang Rp16 triliun," katanya.
Baca juga: Perpres terkait pajak rokok dinilai langkahi undang-undang
Baca juga: IAKMI sebut penyaluran pajak rokok ke BPJS Kesehatan sebagai ironi
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019