Surabaya (ANTARA News) - Program urban farming atau pertanian perkotaan dengan memberdayakan kelompok-kelompok tani menjadi salah satu solusi mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan di Kota Surabaya, Jawa Timur.Konsep "urban farming" itu dijadikan bahan materi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Markas Besar PBB New York
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya, Presley di Surabaya, Kamis, mengatakan urban farming yang digagas sejak 2010 itu, dinilai mampu memberdayakan kelompok-kelompok tani di daerah tersebut, salah satunya di wilayah Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri.
"Sebagian besar masyarakat di wilayah Kelurahan Sumur Welut bekerja di bidang pertanian. Mereka menerapkan urban farming dengan memanfaatkan lahan kosong untuk usaha berbagai jenis pertanian, seperti bertanam padi, jagung, cabai dan sayuran," jelasnya.
Menurutnya, hampir sekitar 80 persen masyarakat di Kelurahan Sumur Welut memilih untuk bertanam cabai dengan alasan jenis tanaman hortikultura ini dinilai lebih menghasilkan keuntungan dengan masa tanam yang relatif cepat.
"Utamanya di sini itu berupa tanaman cabai kecil, nah baru tahun ini kita mencoba tanaman untuk jenis cabai besar," ujarnya.
Konsep "urban farming" itu dijadikan bahan materi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam menyampaikan pemaparan tentang penanganan ketahanan pangan hingga pengentasan kemiskinan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York, Selasa (19/2).
Ia mengatakan di wilayah Kecamatan Lakarsantri terdapat delapan kelompok tani, dengan anggota berjumlah sekitar 622 orang. Sementara untuk luas lahan pertanian, mencapai 457 hektare dan saat ini masih aktif dikerjakan oleh para petani.
Kendati demikian, lanjut dia pihaknya mengaku, akan terus memberikan pendampingan kepada para kelompok tani agar hasil panen mereka bisa terus melimpah.
"Jadi setiap RW itu ada kelompok taninya sendiri-sendiri, jadi sekarang itu 80 persen (masyarakat) tanam cabai dan sisanya padi," katanya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya, Djoestamadji sebelumnya mengatakan "urban farming" juga sebagai solusi pengembangan sektor pertanian akibat terbatasnya lahan.
"Kondisi lahan yang terbatas, salah satu opsi yang paling ideal adalah dengan menerapkan konsep `urban farming`," ujarnya.
Ia mengemukakan konsep "urban farming" pada prinsipnya memaksimalkan lahan yang sempit sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam, budidaya ikan dan peternakan.
Ketua Kelompok Tani Sumur Welut Makmur, Kelurahan Sumur Welut Surabaya, Heri menyampaikan dalam setiap tanam cabai, pihaknya mampu menghasilkan panen sebanyak 14 kali, dengan hasil pertanaman mencapai 1 kilogram untuk jenis cabai besar.
Sementara untuk cabai rawit, menghasilkan panen sekitar setengah kilogram pertanaman. Bahkan, dalam satu hektare tanaman cabai, pihaknya mampu menghasilkan 2,5 kwintal.
"Untuk masa tanam cabai merah, empat hari sekali sudah dipetik. Kalau cabai rawit enam hari sekali, tapi kalau harga (cabai) lagi baik, lima hari sudah dipetik," katanya.
Sementara untuk mendukung hasil produk pertanian mereka, dalam setiap bulan Pemkot Surabaya juga mengadakan kegiatan bertajuk minggu pertanian, sebagai wujud komitmen dalam mengembangkan dan mempromosikan produk pertanian, perikanan dan peternakan di Kota Surabaya.
Salah soerang petani setempat, Heri mengaku aktif mengikuti acara minggu pertanian yang digelar di Balai Kota Surabya untuk mempromosikan dan menjual hasil produk-produk pertaniannya.
"Saya sebulan sekali ikut bazar di Balai Kota, saya bawa jagung, kacang ijo, terong, cabe merah, cabe besar itu semuanya habis," ujarnya.
Baca juga: Jokowi tinjau lokasi "urban farming" di Merunda
Baca juga: Penghuni apartemen juga bisa bercocok tanam
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019