"Bahkan ada media yang juga secara tidak langsung memproduksi konten hoaks dengan mengutip hoaks yang sudah tersebar di media sosial (medsos). Jadi kalau membuat konten berita, dalam hal ini konteksnya berita pemilu harus mengedepankan aspek edukasi," ujar Jimmy Silalahi pada "workshop" Peliputan Pemilu 2019 yang diselenggarakan Kementerian Kominfo dan PWI DIY di Sleman, Kamis.
Menurut dia, hoaks terjadi karena kelatahan jari, tidak bisa menahan diri untuk tidak terlalu mudah menyebar hoaks atau informasi yang belum pasti kebenarannya dan sumbernya. "Jadi intinya pengendalian diri, terutama jari," ucapnya.
Ia mengatakan, yang seharusnya media sajikan tentu yang paling banyak adalah berita menyangkut peserta pemilu. Selanjutnya berita terkait regulator dan regulasi pemilu.
"Tidak lupa juga tentang tahapan pemilu, pengamanan, isu-isu pemilu, juga pemberitaan terkait peran serta masyarakat," tuturnya.
Jimmy mengatakan, media agar berhati-hati, karena ada calon legislatif (caleg) yang sengaja minta dimunculkan dalam bentuk berita.
"Artinya secara tidak langsung media juga memberikan panggung kepada caleg tersebut," katanya.
Direktur Pengelolaan Media Kementerian Kominfo Siti Meiningsih menjelaskan platform media sosial, aplikasi dan situs-situs laman menjadi penyebar hoaks tertinggi.
"Dari data 2017 tercatat penyebaran hoaks terdiri dari tulisan sebanyak 62,10 persen, gambar sebanyak 37,50 persen dan video sebanyak 0,40 persen. Problem terbesar dalam penggunaan internet adalah hoaks," tegasnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat agar terlibat dalam pengawasan pemilu. Untuk mewujudkan pemilu damai dan bebas dari konten hoaks.
Baca juga: MUI Lebak ajak warga tidak tebarkan hoaks
Baca juga: KH Ma'ruf Amin sebut hoaks sebagai tsunami teknologi
Baca juga: TKN: Penyebaran hoaks akan semakin masif mendekati hari h pemilu
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019