• Beranda
  • Berita
  • Memformulasikan tarif tiket yang tepat untuk MRT Jakarta

Memformulasikan tarif tiket yang tepat untuk MRT Jakarta

25 Februari 2019 13:41 WIB
Memformulasikan tarif tiket yang tepat untuk MRT Jakarta
Jurnalis berada di dalam kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta rute Bundaran HI-Lebak Bulus saat diujicoba di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Senin (10/12/2018). MRT Jakarta fase I rute Bunderan HI-Lebak Bulus yang ditargetkan beroperasi pada Maret 2019 itu akan terintegrasi dengan moda transportasi lainnya seperti Bus Transjakarta dan KRL Commuter Line. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/kye. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Kalau Rp8.500 per 10 kilometer saya rasa cukup reasonable kalau angkutan modanya maksimal.

Jakarta (ANTARA News) - Berapa harga yang layak dibayar oleh seorang warga untuk menjadi penumpang pada Moda Raya Transportasi (MRT) Jakarta yang rencananya bakal diujicoba publik pada tanggal 26 Februari 2019 mendatang

Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar, dalam uji coba pengoperasian delapan kereta MRT Bundaran HI-Lebak Bulus, Jakarta, akhir Januari lalu, sudah mengajukan Rp8.500 per orang per 10 kilometer.

Usulan tersebut, hingga artikel ini ditulis, masih digodok oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rencananya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bakal mengonsultasikan tarif MRT dengan DPRD DKI pada pekan-pekan ini.

Pertanyaannya, apakah harga tiket Rp8.500 per 10 kilometer untuk satu orang dinilai sudah tepat?

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menilai bahwa harga tarif yang ditawarkan oleh MRT terbilang masuk akal. 

"Kalau Rp8.500 per 10 kilometer saya rasa cukup reasonable kalau angkutan modanya maksimal," kata Menhub Budi saat meninjau MRT Jakarta, Kamis (14/2). 

Menurut Budi, tarif MRT harus disubsidi disesuaikan dengan daya beli masyarakat agar masyarakat mau menaiki MRT karena tarif yang tidak terlalu mahal. 

Senada, pengamat transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno menyatakan, usulan tarif MRT Jakarta sebesar Rp8.500 per 10 kilometer untuk satu orang masih dalam batas kewajaran.

"Tarif murah atau mahal itu relatif, tetapi (Rp8.500 per 10 kilometer) ini masih wajar," kata Djoko Setijowarno.

Menurut Djoko, ada sejumlah aspek yang harus dipertimbangkan pihak manajemen dalam menentukan tarif, yaitu tingkat kemampuan masyarakat untuk membayar, serta tingkat kemauan warga untuk membayar.  

Djoko menegaskan, transportasi umum seperti MRT perlu disubsidi oleh pemerintah. Bahkan, ia mengingatkan bahwa sejumlah kota di dunia sudah menggratiskan transportasi umumnya.

Bila dibandingkan dengan tarif KRL, ujar dia, hal itu berbeda karena infrastruktur KRL sudah ada dasarnya dari dulu, sedangkan MRT dibangun dari nol.

Arah politik

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas, mengemukakan bahwa penentuan tarif MRT Jakarta sangat tergantung pada arah politik otoritas yang menentukan, karena ada berbagai opsi yang perlu dipertimbangkan.

"Penentuan tarif itu sifatnya politis, tergantung pemerintahnya," kata Darmaningtyas.

Menurut dia, penentuan tarif sebenarnya memiliki banyak komponen, seperti bagaimana beban investasi yang digelontorkan hingga biaya operasionalnya.

Namun, ia juga berpendapat, tarif tidak bisa ditentukan secara sepihak, karena banyak hal lain yang juga harus dipikirkan, misalnya dari segi warga sebagai penggunanya.

Darmaningtyas memaparkan, ada dua jenis tarif yang bisa digunakan, yaitu tarif flat (tidak tergantung jarak) dan tarif berdasarkan jarak atau antarstasiun.

Ia memaparkan, untuk menarik perhatian masyarakat, tarif bisa berdasarkan jarak, tetapi untuk kepentingan bisnis tarifnya mesti flat.

Mengenai manajemen MRT Jakarta yang mengusulkan tarif sebesar Rp8.500 per 10 kilometer, Darmaningtyas menyatakan tarif tersebut karena MRT baru tahap promosi atau masih awal.

Ia mengusulkan, untuk tarif pertama kali adalah Rp10.000 per orang, dan setelah setahun, tarif itu dievaluasi tergantung jumlah penggunanya.

Harus terjangkau

Peneliti Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wahyudi Akmaliah mengatakan tarif MRT harus bisa dijangkau berbagai kalangan ekonomi.

Menurut Yudi, hal ini penting agar keberadaan moda transportasi massal yang baru ini bisa mengubah kebiasaan masyarakat dari menggunakan kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

Yudi berpendapat, jika tarifnya terlalu mahal, bisa saja mereka akan kembali menggunakan transportasi pribadi.

Ia mengatakan, menilik sejarah transportasi massal di Jakarta, sebenarnya kebiasaan masyarakat menggunakan transportasi umum sudah cukup baik dan adaptif, apalagi sejak munculnya Transjakarta dan pembenahan moda KRL.

Selain harga tiket yang terjangkau, ujar dia, kunci kesuksesan transportasi massal di ibukota terletak pada kecepatan moda transportasi itu.

Sementara itu, peneliti Institut Studi Transportasi (Instra) Deddy Herlambang mengharapkan tarif MRT bisa kompetitif saat pertama kali dioperasikan secara komersial pada Maret mendatang.

Deddy Herlambang menilai hal tersebut karena MRT adalah moda transportasi baru yang harus bisa menjadi pilihan alternatif dari moda transportasi yang sudah ada dan mumpuni di Jakarta, yakni Transjakarta.

"Transjakarta Rp3.500 bisa putar-putar se-Jakarta. Kalau memang niatnya pemerintah ingin mengalihkan masyarakat pada angkutan umum harus dicarikan solusi, misal, menambah subsidinya," kata Deddy.

Menurut Deddy, saat pertama kali diluncurkan, MRT bisa mengenakan tarif Rp5.000 untuk 10 kilometer pertama dengan penambahan biaya per kilometer yang harus dipikirkan lagi.

Dengan demikian, berdasarkan tanggapan sejumlah pengamat, jumlah tarif yang ditawarkan cukup beragam, yaitu Rp5.000, Rp10.000, atau Rp8.500 per orang sebagaimana yang diajukan oleh manajemen PT MRT.

     
Menutupi kekurangan

Meski demikian, menurut Dirut MRT Jakarta, William Sabandar, sebenarnya biaya yang dibutuhkan satu orang dalam satu perjalanan adalah sekitar Rp30.000 per orang.

"Namun hal tersebut tidak bisa dibebankan pada masyarakat," kata Dirut MRT.

Mengingat kekurangan yang masih cukup banyak, kata William, pihaknya berupaya mengembangkan bisnis untuk memenuhi kekurangan pendapatan pada tiket. 

Direktur Pengembangan Bisnis MRT Ghamal Peris menyebutkan, setidaknya ada tiga strategi pengembangan bisnis yang dilakukan pihak MRT untuk menutup kekurangan biaya operasional tersebut.

Pertama, kemitraan nama stasiun dengan sistem sponsorship, dengan kontrak selama lima tahun bagi perusahaan yang berjarak 700 meter dari stasiun.

Kedua, area komersial di stasiun bagi perusahaan retail. Saat ini sudah ada 15 mitra retail yang telah bergabung di 10 stasiun pada tahap satu.

Ketiga, penyediaan 16 lokasi untuk UMKM di lima stasiun, yakni Lebak Bulus (enam UMKM), Haji Nawi (satu UMKM), Blok A (satu UMKM), Fatmawati (enam UMKM) dan Dukuh Atas (dua UMKM).

"MRT bersama Bekraf akan menyeleksi proposal UMKM dan memilih 16 mitra UMKM untuk diberikan kesempatan menempati lima stasiun itu dan mendapatkan pembinaan inkubator bisnis," kata Ghamal.

Selain itu, MRT menggandeng perbankan sebagai mitra untuk sistem tiket pembayaran dan juga kerja sama dalam hal promosi MRT Jakarta.

Diharapkan dengan berbagai strategi tersebut, biaya dana operasional yang dibutuhkan oleh MRT akan tertutupi, dan dengan bantuan subsidi dari pemerintah, diharapkan warga juga akan mendapatkan tarif yang tepat dan sesuai, serta terjangkau oleh seluruh kalangan masyarakat.

Baca juga: Memastikan jaminan keamanan pada MRT sebagai objek vital nasional

Baca juga: Memaksimalkan fungsi Moda Raya Terpadu

Baca juga: Atasi macet, Dubes Jepang harapkan MRT membuat warga Jakarta lebih bahagia



 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019