"Marilah kita bersama-sama untuk untuk membangun demokrasi substantif, dan persoalan saling klaim di ruang publik," kata Harjono, pada diskusi "Ngetren Media dan Peluncuran Buku Pemilu di Indonesia", di Jakarta, Selasa.
Hadir pada diskusi dan peluncuran buku tersebut, antara lain, Ketua KPU Arif Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, penulis buku Topo Santoso dan Ida Budhiati, serta pakar hukum tata negara dari Universitas Pajajaran Bandung Susi Dwi Harjanti.
Menurut Harjono, pemilu di Indonesia adalah proses memilih pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif, melalui proses demokrasi.
Masyarakat Indonesia, kata dia, beragam, baik suku bangsa, budaya, agama, tingkat pendidikan, dan sebagainya, sehingga paradigmanya juga beragam.
Menurut Harjono, karena masyarakat Indonesia itu heterogen, maka pemilunya harus diatur berdasarkan aturan perundang-undangan, sehingga aturannya sama dari Aceh sampai Papua.
"Kalau tidak diatur, maka setiap kelompok masyarakat, ingin pemilihan dengan caranya sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Ini berpotensi terjadi situasi yang tidak kondusif," katanya.
Karena itu, menjelang penyelenggaraan pemilu, dilakukan sosialisasi baik oleh penyelenggara pemilu maupun pihak terkait lainnya. "Dalam sosialisasi itu, juga disosialisasikan etika dalam pemilu," katanya.
Sementara itu, Anggota DKPP, Ida Budhiati, yang juga penulis buku "Pemilu di Indonesia", menjelaskan, DKPP adalah lembaga dewan kehormatan yang mengawasi penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Sejak DKPP berdiri sampai saat ini, kata dia, ada sebanyak 3.274 kasus yang diadukan ke DKPP. "Namun, setelah diversifikasi, ternyata pengaduan yang layak sidang, ada sebanyak 1.271 perkara," katanya.
Kemudian, setelah diproses dalam persidangan, kata dia, ternyata yang terbukti, melakukan pelanggaran etik pemilu hanya sekitar 48,6 persen. "Itu artinya, masih banyak pengaduan yang merupakan eforia," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019