• Beranda
  • Berita
  • Peneliti : Indonesia belum ramah investasi tenaga surya

Peneliti : Indonesia belum ramah investasi tenaga surya

27 Februari 2019 17:52 WIB
Peneliti : Indonesia belum ramah investasi tenaga surya
Ilustrasi - petugas memeriksa panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta, (ANTARA News) - Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi menyatakan, hasil kajian pihaknya menyebutkan bahwa kebijakan yang terkait dengan investasi listrik tenaga surya dianggap belum ramah untuk mendorong pengembangan teknologi ramah lingkungan tersebut. 
  
"Pemerintah terus menyusun kebijakan yang menjadi rintangan bagi pengembangan listrik tenaga surya, khususnya bagi kebutuhan komersial dan hunian," ujar Elrika Hamdi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Kajian IEEFA menegaskan bahwa hanya 24 MW listrik tenaga surya yang sudah dipasang dan dapat di salurkan melalui jaringan ketenagalistrikan di Indonesia.

Namun di saat yang bersamaan, PLN
dinilai terbebani oleh rencana ketenagalistrikan yang berbasiskan batubara yang sifatnya tidak fleksibel dan biaya tinggi ini memberikan tantangan berat terhadap pengoperasian jaringan ketenagalistrikan Indonesia.
 
Berdasarkan kajian IEEFA, peraturan saat ini dinilai menyulitkan investor untuk melihat manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pemasangan sistem listrik surya atap (PLTS atap). Hal ini diakibatkan dari rancangan peraturan PLTS atap itu sendiri. 

Selain itu, berbagai rintangan yang menghalangi pengembangan PLTS yang terkoneksi jaringan adalah sebagai berikut pertama ketentuan BOOT (Built, Operate, Own and Transfer), di mana kepemilikan proyek dialihkan kepada pihak PLN setelah masa kontrak selesai, terlepas dari nilai aset dan manfaat residual yang masih berjalan, jelas mengurangi tingkat keekonomian proyek listrik tenaga surya;

Kedua, memaksa pengembang listrik tenaga surya menggunakan kandungan lokal khususnya panel tenaga surya yang masih mahal dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang panel surya impor. Di saat yang sama, tidak terdapat ruang gerak bagi produsen panel surya lokal untuk mengembangkan kapasitas manufaktur dan produksi dengan skala keekonomian.

Ketiga, memaksa pengembang listrik tenaga surya untuk menerima harga yang di patok berdasarkan harga listrik base load berbasis batubara yang selama ini telah mendapatkan manfaat dan subsidi dari negara.

 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019